Dalam
sebuah hadits yang diriwatkan oleh Abdullah bin Zubair dijelaskan bahwa
mencari kayu di hutan, kemudian menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, itu
merupakan perkara yang jauh lebih mulia daripada harus meminta-minta.
Hadits
tersebut mengajarkan agar kita tidak mudah untuk menggantungkan hidup kepada
orang lain. Tapi sejatinya, pola macam ini belumlah cukup untuk mencegah diri
dari meminta-minta, dan itu bisa kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita
saat ini, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas.
Memiliki karakter orang kaya, juga merupakan suatu yang sangat penting dalam menanggulangi kasus ini. Orang kaya dalam kontek ini, bukanlah mereka yang memiliki segudang emas dua puluh empat karat. Sekalipun mereka memiliki itu semua, tetapi ketika kekikiran menyelimuti diri, dahaga akan harta semakin membahana, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang miskin.
Memiliki karakter orang kaya, juga merupakan suatu yang sangat penting dalam menanggulangi kasus ini. Orang kaya dalam kontek ini, bukanlah mereka yang memiliki segudang emas dua puluh empat karat. Sekalipun mereka memiliki itu semua, tetapi ketika kekikiran menyelimuti diri, dahaga akan harta semakin membahana, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang miskin.
Hakikat orang
kaya adalah orang yang mampu memberi, bukan mereka yang gemar menumpuk dan
menumpuk harta, ”Tidak disebut kaya karena banyak hartanya, tetapi yang
disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Karakter macam inilah yang dibangun oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menengadahkan tangan, meminta-meminta bantuan orang lain, sekalipun mereka dalam kesusahan.
Karakter macam inilah yang dibangun oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menengadahkan tangan, meminta-meminta bantuan orang lain, sekalipun mereka dalam kesusahan.
Abdurrahman bin Auf
adalah salah satu contohnya. Memang, beliau adalah termasuk salah satu sahabat
yang kaya raya. Namun perlu diperhatikan, ketika beliau berhijrah ke Madinah,
kekayaan yang dimilikinya ditinggal di Mekkah. Setibanya beliau di Madinah,
kemudian Rasulullah mempersaudarakannya dengan salah satu sahabat Anshor, Sa’ad
bin Ar-Rabi’. Ketika itulah terlihat betapa Abdurrahman termasuk tipe orang
yang tidak ingin merepotkan orang lain dengan cara menerima segala apa yang
ditawarkan kepadanya.
Saat itu, sahabat Anshor tersebut memberinya tawaran agar ia (Abdurrahman) sudi menerima sebagian harta yang ia miliki, termasuk salah satu istrinya, apabila Abdurrahman berkenan. Namun apa yang dilakukan oleh sahabat mulia ini, beliau menolak dengan halus, dan meminta agar ditunjukkan pasar.
Saat itu, sahabat Anshor tersebut memberinya tawaran agar ia (Abdurrahman) sudi menerima sebagian harta yang ia miliki, termasuk salah satu istrinya, apabila Abdurrahman berkenan. Namun apa yang dilakukan oleh sahabat mulia ini, beliau menolak dengan halus, dan meminta agar ditunjukkan pasar.
Dengan kemahirannya
dalam berniaga, akhirnya beliau mampu memperoleh apa yang pernah ia rasakan
sebelum berhijrah, yaitu harta yang berlimpah ruah. Perilaku yang tidak jauh
berbeda, juga ditunjukkan oleh para sahabat muhajirin lainnya, ketika
memperoleh tawaran bantuan dari saudara-saudara mereka, sahabat-sahabat Anshar.
Karenanya, menanamkan konsep bahwa ”tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah”, setelah memiliki jiwa wirausaha, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam meninggalkan kebiasaan meminta-minta. Wallahu ’Alam Bis-Shawab.
Karenanya, menanamkan konsep bahwa ”tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah”, setelah memiliki jiwa wirausaha, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam meninggalkan kebiasaan meminta-minta. Wallahu ’Alam Bis-Shawab.
Robin S. Hidayatullah
Posting Komentar