Maka beruntunglah mereka yang dapat memanfaatkan setiap
helaan napas yang diberikan Allah kepadanya untuk meningkatkan amal saleh dan
baktinya kepada Sang Pencipta. Beruntunglah mereka yang tidak menyia-nyiakan
usia muda, kesehatan, kesenggangan dan umurnya untuk mempersiapkan kehidupan
berikutnya, sebelum dijemput oleh ketuaan, sakit, kesibukan dan kematian.
Di atas saya mengatakan bahwa seorang muslim yang arif
adalah mereka yang tidak menunda apa yang dia bisa lakukan hari ini. Menunda
kebajikan di dalam hidup kita, tak ubahnya bagai menunda suatu kemenangan di
depan mata. Menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah, adalah laksana
menanti kekalahan yang akan disusul oleh penyesalan berkepanjangan.
Tengoklah
betapa cermatnya petunjuk Al-Qur’an yang difirmankan Allah dalam Ali ’Imran 133, ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.”
Amati dengan baik penggunaan kata ”saari’u” dalam ayat ini
yang menandakan perlunya kita bersegera diri meraih ampunan Allah dan
memperoleh tempat di surga yang luasnya sama dengan luas langit dan bumi dipadu
jadi satu. Surga yang demikian tiada berbatas dan penuh dengan segala
kenikmatan, disediakan Allah bagi mereka yang bertakwa.
Tadi saya mengatakan bahwa di dalam kehidupan manusia di
dunia ini, Allah menciptakan berbagai contoh dan perbandingan untuk menjadi
bahan kajian. Dari sekian banyak contoh yang ada dalam Al-Qur’an, saya ingin
mengajak pembaca menelaah firman Allah dalam surat Ali ’Imran 188 yang kira-kira maknanya begini : ”Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal.”
Diriwayatkan oleh At-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari Ibnu Abbas bahwa suatu kali orang-orang Quraisy datang kepada
orang-orang Yahudi menanyakan mu’jizat yang dibawa Musa kepada mereka.
Orang-orang Yahudi pun menjawab, ”Tongkat dan tangannya yang putih bercahaya.”
Setelah itu mereka pun bertanya kepada orang-orang Nasrani tentang mu’jizat
yang telah dibawa Isa bagi kaum Nasrani. Jawabannya adalah, Isa dapat
menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan bahkan menghidupkan orang mati.
Ketika orang-orang ini kemudian menghadap Rasul dan minta Rasul berdoa agar
gunung Shafa menjadi emas, maka turunlah ayat diatas. Ayat ini mengisyaratkan
agar mereka memperhatikan apa yang telah ada, yang akan lebih besar manfaatnya
bagi orang-orang yang bisa menggunakan akalnya.
Kematian secara tiba-tiba yang menimpa seseorang kiranya
juga merupakan satu dari sekian banyak ayat Allah di dalam perjalanan hidup
manusia di dunia. Mereka yang tidak jeli membaca dan merenungkan ayat ini akan
terkejut, terbingung-bingung tapi kemudian melewatkannya begitu saja. Namun
orang-orang yang mampu membacanya dengan arif dan seksama, akan menjadikan ayat
ini sebagai petunjuk dan sekaligus peringatan berbenah diri tanpa harus terlalu
terkejut.
Tak ada satu pun makhluk di permukaan bumi ini yang
menghendaki kematian. Di dalam surat Al-Baqarah ayat 94 Allah menantang dengan
firmanNya yang berbunyi, ”Katakanlah, jika kamu (menganggap bahwa) kampung
akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka
inginilah kematian (mu) jika kamu memang benar.”
Kalau saja orang berpotensi menentukan pilihan, kiranya
setiap orang akan memilih hidup selamanya. Orang memandang kematian sebagai
pungkasan dari semua kebahagiaan dan kemilau dunia. Kematian berarti
berakhirnya semua kekuasaan, kepopuleran, kekayaan dan semua atribut yang
senantiasa menjadi kejaran manusia.
Namun, manusia memang tak kuasa menentukan pilihan hidup dan
mati. Kematian adalah suatu proses yang harus dialami setiap orang sekalipun ia
berusaha berlindung di benteng berlapis. Mengapa setiap orang harus melewati
proses ini ? sebab hidup ini laksana hamparan ruang ujian sementara kematian
adalah pintu menuju penentuan lulus dan tidak. Renungkan petunjuk Allah di awal
surat Al-Mulk, ”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.”
Tanpa proses kematian tentu tak akan ada yudisium penentuan
lulus dan tidak. Tanpa pintu kematian, tak akan ada ketetapan siapa yang
berhasil atau gagal melewati misi manusia sebagai wakil Allah di permukaan
bumi.
Kematian mendadak yang menimpa seseorang sudah barang tentu
akan direspon keluarganya dengan penuh duka cita. Siapa yang tak akan
terperanjat dan tersentak ketika tiba-tiba seseorang yang begitu dekat dengan
kita mendadak harus pergi untuk selama-lamanya. Namun, coba kita renungkan,
alangkah beruntungnya orang yang harus berpisah dengan dunia ini tanpa harus
mengalami penderitaan yang panjang.
Banyak diantara kita yang sudah menyaksikan penderitaan
panjang orang sebelum akhirnya harus meninggal juga. Bayangkan rasa sakit,
kekesalan dan putus asa yang harus diderita orang-orang dengan penyakit
tertentu. Bayangkan pula kesulitan membiayai semua ini terutama bagi mereka
yang tidak berkantong tebal.
M. Syafi'i
Posting Komentar