Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, halaman. 9-10 menyatakan, “Diantara
mereka juga ada golongan Rafidhah yang suka mencaci sayyidina Abu Bakar dan ‘Umar
radliallahu ‘anhum, membenci para sahabat nabi, dan berlebihan dalam mencintai
sayyidina ‘Ali dan anggota keluarganya radliallahu ‘anhum”
Serupa dengan apa yang disampaikan oleh
Al-Imam Asy-Syafi’i , “Saya belum
melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu (berdusta) dari
Syi’ah Rafidhah.” (Adabus Syafi’i, m/s. 187, al-Manaqib karya al-Baihaqiy, 1/468 dan Sunan al-Kubra,
10/208. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)
Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin
Abi Thalib ditanya oleh para pengikutnya yakni pasukan atau tentara yang semula
mendukungnya dengan pertanyaan “Kami akan menyokong perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu
terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab di mana
kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi Thalib”.
Imam Zaid menjawab, “bagi saya
mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah mendengar ucapan dari
ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan
kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu
disebabkan karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di
samping itu, mereka telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya
matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba
kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami, dan
membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka menghujani mesjid dengan lemparan
batu dan api”.
Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam
Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid. Kemudian Imam Zaid berkata kepada
mereka: “kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya”. Semenjak
hari itu pasukan atau tentara yang semula mendukung Beliau dikenal dengan nama
Rafidhah. Pengertian al-Rafidhah (الرافضة) adalah mereka yang menolak.
Jadi Syiah Rafidhah meninggalkan seorang
penunjuk (ahli istidlal) dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasululah,
yaitu Imam Zaid,
dan mengikuti pasukan atau tentara yang semula mendukungnya yakni mereka
memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan Imam Ahlul Bait bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka
sendiri yang berakibat timbullah firqah-firqah.
Salah satu ulama Zaidiyyah, Imam Ahmad
as-Syarafiy (w. 1055 H) menegaskan bahwa: “Syi’ah Zaidiyah terpecah kepada tiga
golongan, yaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah. Dan konon ada yang membagi
sekte Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah. Dan pandangan
Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah. Dan sekte
Sulaymaniyah sebenarnya adalah Jarririyah. Jadi ketiga sekte tersebut merupakan
golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awal. Ketiga sekte inipun tidak berafiliasi
kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali. Mereka hanyalah sekedar penyokong berat
(bekas tentara atau pasukan) imam Zaid ketika terjadi revolusi melawan Bani
Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid”.
Begitupula menurut pendapat Dr. Samira
Mukhtar al-Laitsi dalam bukunya (Jihad as-Syi’ah), ketiga sekte tersebut
merupakan golongan Syi’ah Zaidiyyah di masa pemerintahan Abbasiah. Dan mayoritas dari
mereka ikut serta dalam revolusi imam Zaid. Dan ketiga sekte tersebut dianggap
paling progresif dan popular serta berkembang pesat pada masa itu. Dan setelah
abad kedua, gerakan Syi’ah Zaidiyah yang nampak di permukaan hanyalah sekte Garudiyah. Hal
ini disebabkan karena tidak ditemukannya pandangan-pandangan yang dinisbahkan
kepada sekte Syi’ah Zaidiyah lainnya.
Jadi adalah sebuah fitnah jika mengaku
mengikuti Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib (Ahlul Bait Rasul SAW) namun pada
kenyataannya mereka mengikuti para pendukung (bekas tentara atau pasukan) Imam
Zaid
Kalau mereka memang benar-benar mengikuti
ahlul bait maka mereka dapat menelusuri dari mulai Al Imam Al Haddad dan yang
setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang
setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al
Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang
orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al
Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya,
sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash
Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab
Syafi’i dalam fiqih, Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod)
mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak
atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab
dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam
Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat
kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al
Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India,
kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang
mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan
tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan
kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai
kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas
keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Ust. Zon Jonggol
Posting Komentar