Ilmu tasawuf adalah "mustikanya"
agama Islam. Imam Al-Ghazali sendiri pernah membuat kitab yang luar biasa;
Ihya' Ulummudin. Kitab tersebut intinya adalah petunjuk cara menghidupkan agama
Islam.
Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu fikih tidak
boleh berdiri sendiri, tanpa didampingi ilmu tasawuf.
Ibarat manusia, ilmu syariat adalah tubuh,
sedangkan ilmu hakikat adalah ruhnya. Menerapkan ilmu fikih tanpa didampingi
ilmu tasawuf, akan menjadikan agama Islam seperti "mayat"; kaku,
dingin, dan menakutkan. Sebaliknya, agama Islam yang dilengkapi ilmu tasawuf,
membuat agama terasa "hidup" dan indah.
Dalam kesempatan kali ini, saya hendak
memaparkan tiga kisah alim ulama yang ahli ilmu fikih sekaligus ahli ilmu
tasawuf.
Dahulu, di abad ketiga hijriyah, pernah
hidup seorang alim ulama yang ahli ilmu fikih sekaligus ahli ilmu tasawuf
bernama Abu Yazid Al-Busthami.
Beliau adalah sosok yang luar biasa.
Murid-muridnya sudah lintas negara dan lintas kelompok tarekat. Bukan hal yang
mudah membimbing ribuan murid yang berlatar belakang sangat kompleks seperti
itu.
Tapi, suatu hari, saat berjalan dengan
beberapa murid terpilihnya, beliau melakukan hal yang sepele tapi tidak mungkin
bisa dilakukan oleh orang biasa. Di jalanan yang sempit tersebut, dari arah
berlawanan, datanglah seekor anjing berwarna kuning lagi dekil. Anjing itu
berlari.
Seketika itu pula, Abu Yazid Al-Busthami
berkata para muridnya untuk agak menepi, "Anjing itu pasti ada keperluan
mendesak, sehingga anjing itu berlari, mari kita beri jalan."
Anjing berwarna kuning itu melewati
rombongan para sufi tersebut sambil mengangguk, seperti memberi tanda berterima
kasih. Kejadian yang tampak remeh, tapi sesungguhnya adalah sebuah cerita yang
menunjukkan kualitas akhlak seorang Abu Yazid Al-Busthami.
Dari cerita yang tampak remeh di atas, kita
bisa memetik sebuah ilmu hikmah yang luar biasa. Tak jarang kita yang hanya
memiliki kelebihan yang sedikit saja sudah enggan bercengkerama dengan orang “di bawah” diri kita.
Maunya hanya bergaul dengan orang-orang yang minimal selevel.
Marilah kita belajar pada sosok beliau. Abu
Yazid Al-Busthami yang sudah berada di puncak derajat keulamaan dan tengah
bersama para muridnya, tidak gengsi mengalah demi seekor anjing dekil.
Dalam ilmu tasawuf, tanda orang berderajat
tinggi di hadapanNya adalah senantiasa merendahkan dirinya di hadapan
makhluk-makhlukNya yang sangat rendah sekalipun.
Dikutip Dari Buku Kembali Menjadi Manusia oleh Doni Febriando
Posting Komentar