Dari Jabir RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang
yang paling aku cintai dan paling dekat duduk bersamaku pada hari Kiamat di
antara kalian adalah orang-orang yang paling baik akhlaqnya. Dan sesungguhnya
orang yang paling aku benci dan paling jauh duduk bersamaku di antara kalian
pada hari Kiamat adalah tsartsarun (orang-orang yang banyak bicara), mutasyaddiqun
(orang yang suka berpanjang lebar, menunjukkan kefasihan dalam bicara), dan mutafaihiqun.’
Para sahabat berkata, ‘Ya Rasulullah, sungguh kami tahu arti tsartsarun
dan mutasyaddiqun. Tapi apa arti mutafayhiqun?’.
Beliau menjawab, ‘Yakni orang yang angkuh, sombong, dan berlagak menunjukkan
kepandaiannya serta melemahkan pihak lain’.” (Diriwayatkan
At-Tirmidzi)
Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Kebaikan dan Silaturahim
bab Keluhuran Akhlaq.
Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mendeskripsikan secara
singkat makna akhlaq yang baik sebagai keramahan dan keceriaan muka, mendermakan
dan mengerahkan segala kemampuan demi kebaikan, dan mencegah keburukan.
Tentang kedudukan orang yang berakhlaq mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya
sampai di sini sudah cukup. Yang penting di sini, seyogianya seorang muslim
menghindarkan diri dari sifat-sifat angkuh dan sombong dalam pergaulan, terutama
dalam berbicara. Orang-orang adakalanya suka menonjolkan kealiman, kefasihan,
dan kepiawaiannya dalam merangkai kata, demi membuat manusia takjub dan tujuan
duniawi lainnya. Itu dapat menunjukkan kesombongan.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani suatu ketika ditanya, “Wahai Imam, apa yang
menyebabkan majelismu dihadiri dan disimak banyak orang?”
Beliau menjawab, “Katakanlah sesuatu yang terbetik di hatimu secara jujur
dan sederhana saja. Hindari berpanjang kalam dalam menunjukkan kehebatan dirimu
demi membuat orang lain takjub.
Al-‘Aquli berkata dalam syarah kitab Al-Mashabih, sebagaimana
dikutip Ibn ‘Allan dalam kitab Dalil Al-Falihin, Hadits ini muncul
karena sebuah realitas bahwa orang-orang mukmin pada sisi keimanannya memang
patut dihargai dan saling mengasihi namun adakalanya mereka saling mengklaim keutamaan
dalam sifat-sifat kebaikan dan cabang-cabang keimanan. Yang merasa utama lalu
mengunggulkan dirinya dalam kebaikan dan membedakan yang lain dengan
keburukan. Maka mereka jadi dibenci pada sisi itu. Lalu sebagian mereka lebih
dibenci pada sebahagian yang lain. Sehingga ada seorang yang disukai pada
satu sisi namun dibenci pada sisi lain.
Hal inilah yang mendasari Rasulullah
SAW untuk mencintai orang-orang yang beriman seutuhnya dan seluruhnya,
terutama dari sisi keimanan mereka yang berakhlaq mulia, sebagaimana kebencian
beliau kepada mereka yang bermaksiat, namun lebih membenci mereka yang
bermaksiat dengan keburukan akhlaq.
Al Kisah
Posting Komentar