Uneg-uneg-nya orang sekarang dan yang lalaikan sabda Nabi saw kebanyakan
pada beratnya beban kehidupan. Bila sabda Nabi saw tadi sampai
orang-orang ini mereka tidak mau dan tidak mampu melihat perolehan dahsyat
hidup faqir kecuali rasa berat dan wagu (naif) saja, “Perolehan
cuman gituan, koq, dibilang dahsyat? Masak iya…!!!
Iya,
bila orientasi hidupnya hanya kehidupan dunia. Iya, bila merespon hidup dunia
ini sebagai kehidupan yang utama, pertama sekaligus terakhir atau satu-satunya
kehidupan. Namun, camkan, daur hidup manusia tidak sesederhana kehidupan
binatang, tanaman, gunung dan lain-lain. Fakta ayatnya, hidup manusia juga
meliputi kehidupan pasca-dunia yang kekal dan bekal yang mesti manusia tata
agar selamat dan sejahtera di akhirat hanya bisa dilakukan saat di kehidupan
dunia –satu-satunya periode menata bekal. Jadi, setiap hal yang terjadi dan
dilakukan manusia di kehidupan dunia ini butuh ‘ilmu yang dirisalahkan
Rasulullaah saw agar produktif dan bermanfaat jadi bekal hidupnya di
akhirat, tak tersesat maupun mendatangkan madlarat baginya.
Termasuk pula di dalam kefaqiran hidup, di situ terdapat manfaat yang
dahsyat bagi manusia yang menjalaninya.
Manfaat
dahsyat hidup faqir tidak direken orang jaman sekarang lantaran orang-orang ini
doyannya mengeluh. Saya menyebut jaman ini jaman sambat-sebut (mengeluh-merintih).
Hampir-hampir tidak ada orang yang tidak mengeluh, resah dan gelisah.
Tingkah berkeluh-kesah beban hidup bukan hanya monopoli orang-orang melarat
tapi juga konglomerat. Jaman sambat-sebut ini orang-orang yang berpunya
dan berkecukupan pun jarang bersyukur justru nggresula ngaluwara (mengerutu
menjalar-jalar) ke sesamanya bahkan kepada Tuhan, “Kenapa kami mesti
dibebani seberat ini, Duh Gustiiii?!!!”
Dulu,
jaman Nabi saw, utusan kaum faqir sowan pada beliau saw menyampaikan
uneg-uneg dalam upaya meraih pahala. Dahsyatnya manfaat hidup faqir
telah disabdakan Nabi saw. Mendengar risalah Rasulullaah saw orang-orang
melarat itu serta-merta menyatakan ridla –atas kemelaratan yang mereka tanggung
sekaligus manfaat dahsyat dari melaratnya hidup- kepada Allah. Kaum faqir
di jaman dan di dalam didikan Nabi saw itu tidak mengeluhkan beratnya
beban kemelaratan. Beban macam itu hal yang remeh saja dan tak jadi uneg-uneg
bagi faqir yang shabar dan ikhlas.
Sekarang,
andai Nabi saw masih hidup, orang-orang pasti sowan juga menghadap
Nabi saw. Sowan-nya bukan mohon pengajaran untuk meraih pahala tapi
menyampaikan uneg-uneg tentang beratnya beban hidup lalu menghiba-hiba
agar Nabi saw membereskan beban itu dengan doa (Rasulullaah saw bukanlah
anak-Tuhan ataupun Tuhan itu sendiri melainkan hamba yang Dia Utus dan
Terkasih hingga doanya tiada tertolak di sisi-NYA).
Begitulah
sowan-nya orang-orang jaman ini pada Nabi saw andai beliau masih
hidup. Saya pastikan begitu. Kenapa? Wong kepada Pewaris Nabi saw (yakni
‘ulama akhirat) saja orang-orang ini sowan dengan permohonan agar
membereskan persoalan keduniawian. Mereka berusaha memeras doa dalam
kepentingan duniawi ke Pewaris Nabi saw yang tentu saja enggan memenuhi
permintaan orang-orang yang memperturutkan hawa-nafsu.
Sowan-nya orang-orang ini ke ‘ulama akhirat bukan untuk
mendalami ‘ilmu seperti utusan kaum faqir yang sowan ke Nabi saw
untuk meraih pahala maksimal dalam penghidupannya yang minimal. Kaum faqir
dulu disambut dan disebut Nabi saw dengan begitu hebatnya: orang-orang
yang di-Cintai Allah! Nabi saw adalah Utusan Allah –Tuhannya
semesta alam- tentu mengetahui kaum faqir yang mengirim delegasi menghadap
beliau itu layak di-Cintai Allah: hidupnya faqir diliputi shabar, ikhlas
dan orientasi hidup meraihkan pahala.
Apabila
kita lihat manusia-manusia yang tak gentar hadapi derita dunia, tak
terguncangkan oleh hawa nafsu, bahagia dalam sempitnya penghidupan, tetap
tenang di tengah badai dan topan cobaan, tak silau gemerlapnya dunia, hidup
berorientasi meraihkan pahala …apakah keteguhan macam itu tak memaksa kita
menghormati insan-insan tadi? Lalu, bagaimana pula kita tak menghormatinya
sedang Allah mencintai insan-insan itu?
Shaahibut
Taaj KH Fuad berwasiat agar kita rila-lila-legawa
(rela, lega, menerima) terhadap setiap Ketentuan Allah yang tiba ke kita. Bila
Allah nglakokke (menentukan, men-casting) diri kita hidup dalam
keadaan faqir atau berkekurangan maka hendaknya kita kenangi sabda Nabi saw:
pada hidup berkekurangan dan melarat terdapat hal yang dahsyat.
Teguhkan hati kita bila hidup dililit sempit dan
pahit. Bertahanlah. Jalani casting ini dengan shabar dan ikhlas.
Ketekunan menjalani casting ini moga-moga mengantarkan kita masuk nominasi
memenangi Allah Awards (hadiah dari Allah) berupa memasuki
mahligai-mahligai tinggi di surga yang menjadi haknya para VVIP (very very
important persons) yakni para nabi dan pahlawan syahid; masuk surga dengan
akses hotline lebih cepat dan lebih dulu lima ratus tahun dari para hartawan;
previlese bisa meraih pahala yang melebihi orang-orang yang di-casting jadi
orang kaya-berharta.
Penulis adalah Santri Ponpes Raudhatul Fatihah, Bantul
Posting Komentar