5.
Melunasi Tepat pada Waktu
Biasanya, di dalam kesepakatan utang-piutang terdapat perjanjian, kapan utang tersebut akan dilunasi. Membayar utang tepat pada waktu (akan lebih baik sebelum jatuh tempo) merupakan suatu keharusan. Seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyiapkan dana tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Dengan demikian, berarti kita telah berkomitmen dengan apa yang telah disepakati. Jangan sampai kita mengecewakan orang yang telah meringankan urusan kita dengan meminjamkan uangnya, tapi kita balas dengan pengingkaran janji. Lebih-lebih, kalau penangguhan tersebut, sengaja kita rencanakan. Sungguh hal ini termasuk kedzaliman yang nyata terhadap diri sendiri, ataupun orang lain.
Rasulullah bersabda, ”Penangguhan orang kaya (dalam pembayaran utangnya) itu adalah kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
6. Melunasi Utang Sebelum Harta Warisan Dibagi
Di antara kewajiban ahli waris (orang yang berhak mendapat harta warisan dari saudaranya yang meninggal) terhadap harta yang ditinggalkan adalah melunasi utang si mayit, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan dari syariat Islam. Sekiranya harta tersebut ternyata kurang, maka masing-masing pihak (terutama keluarga) berkewajiban untuk melunasinya.
7. Menyedekahkan Utang Atas Nama Pemilik Piutang
Tidak menutup kemungkinan, dalam membayar utang, kita kehilangan jejak orang yang telah memberi kita utang. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, misal pindah alamat ataupun meninggal dunia. Bila ahli warisnya masih ada dan kita mengetahui keberadaan mereka, maka kewajiban kita menyerahkan uang pinjaman tersebut kepada mereka (ahli waris). Akan tetapi, apa bila kita benar-benar tidak mengetahui keberadaan mereka, maka kita menyerahkan uang tersebut untuk fi sabii lillah atau kita sedekahkan atas namanya.
A-Hasan berkata, ”Jika seseorang meninggal sedang ia mempunyai piutang dan ahli warisnya tidak diketahui, maka hendaknya piutang tersebut dijadikan fi sabilillah. Jika ia seorang muslim dan tidak diketahui ahli warisnya, maka hendaknya piutang itu disedekahkan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).
Demikianlah adab-adab dalam berutang yang harus kita laksanakan, sekiranya kita memang harus terpaksa mengutang untuk suatu kepentingan. Kita berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Ia (Allah) menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang terbebas dari utang, sebagaimana yang senantiasa beliau (Rasulullah) ucapkan setiap kali selesai shalat, sehingga, kegundahan hati karena merasa dikejar-kejar penagih utang, bisa diterelakkan. ”Allahumma innie a’udzubika minal maktsami wal maghrami.” (Ya Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan utang). (HR. Bukhari) . Wallahu ’alam bisshowaab
Biasanya, di dalam kesepakatan utang-piutang terdapat perjanjian, kapan utang tersebut akan dilunasi. Membayar utang tepat pada waktu (akan lebih baik sebelum jatuh tempo) merupakan suatu keharusan. Seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyiapkan dana tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Dengan demikian, berarti kita telah berkomitmen dengan apa yang telah disepakati. Jangan sampai kita mengecewakan orang yang telah meringankan urusan kita dengan meminjamkan uangnya, tapi kita balas dengan pengingkaran janji. Lebih-lebih, kalau penangguhan tersebut, sengaja kita rencanakan. Sungguh hal ini termasuk kedzaliman yang nyata terhadap diri sendiri, ataupun orang lain.
Rasulullah bersabda, ”Penangguhan orang kaya (dalam pembayaran utangnya) itu adalah kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
6. Melunasi Utang Sebelum Harta Warisan Dibagi
Di antara kewajiban ahli waris (orang yang berhak mendapat harta warisan dari saudaranya yang meninggal) terhadap harta yang ditinggalkan adalah melunasi utang si mayit, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan dari syariat Islam. Sekiranya harta tersebut ternyata kurang, maka masing-masing pihak (terutama keluarga) berkewajiban untuk melunasinya.
7. Menyedekahkan Utang Atas Nama Pemilik Piutang
Tidak menutup kemungkinan, dalam membayar utang, kita kehilangan jejak orang yang telah memberi kita utang. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, misal pindah alamat ataupun meninggal dunia. Bila ahli warisnya masih ada dan kita mengetahui keberadaan mereka, maka kewajiban kita menyerahkan uang pinjaman tersebut kepada mereka (ahli waris). Akan tetapi, apa bila kita benar-benar tidak mengetahui keberadaan mereka, maka kita menyerahkan uang tersebut untuk fi sabii lillah atau kita sedekahkan atas namanya.
A-Hasan berkata, ”Jika seseorang meninggal sedang ia mempunyai piutang dan ahli warisnya tidak diketahui, maka hendaknya piutang tersebut dijadikan fi sabilillah. Jika ia seorang muslim dan tidak diketahui ahli warisnya, maka hendaknya piutang itu disedekahkan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).
Demikianlah adab-adab dalam berutang yang harus kita laksanakan, sekiranya kita memang harus terpaksa mengutang untuk suatu kepentingan. Kita berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Ia (Allah) menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang terbebas dari utang, sebagaimana yang senantiasa beliau (Rasulullah) ucapkan setiap kali selesai shalat, sehingga, kegundahan hati karena merasa dikejar-kejar penagih utang, bisa diterelakkan. ”Allahumma innie a’udzubika minal maktsami wal maghrami.” (Ya Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan utang). (HR. Bukhari) . Wallahu ’alam bisshowaab
Robin Sah, Hidayatullah
Posting Komentar