Malu (al-haya) adalah salah satu sifat mulia dalam Islam. Bahkan Nabi
menyebutnya: Malu merupakan bagian dari iman (al-haya minal iman). Logikanya,
orang yang tidak punya rasa malu berarti tidak punya iman. Makin besar rasa
malu makin besar keimanan seseorang. Manakala rasa malu menipis pada diri
seseorang atau suatu masyarakat maka pertanda harga diri orang atau masyarakat
itu juga semakin rendah. Orang atau masyarakat yang tidak punya rasa malu maka
sulit untuk mendapatkan tempat didalam ketatnya persaingan hidup di dalam
masyarakat. Hanya negara yang punya harga dirilah yang akan berdaulat di masa
depan.
Rasa malu dikaitkan dengan maqam seorang salik (pencari Tuhan). Orang yang memiliki rasa malu akan lebih banyak diam dan bicara hanya seperlunya dan untuk kepentingan dakwa.
Menurut Dzun Nun al-Mishri, pencinta akan berbicara dan pemalu akan diam. Al-Junaid pernah ditanya tentang malu. Ia menjawab: Malu adalah suatu keadaan yang melahirkan penglihatan terhadap nikmat dan membatasinya merupakan syukur terhadap nikmat tersebut. Ibn Atha mengatakan, ilmu yang paling besar adalah rasa gentar dan malu. Allah berfirman Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. (QS Yusuf/12: 24). S
esungguhnya tanda yang dilihat ialah bahwa ia melemparkan pakaian ke wajah sebuah patung yang ada di rumah. Lalu Yusuf AS. berkata kepadanya: Apa maksudmu berbuat begini? Jawabnya: Sesungguhnya aku merasa malu. Kata Yusuf: Sesungguhnya aku lebih malu lagi kepada Allah. Selanjutnya ditegaskan dalam firman Allah dalam al-Quran. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dalam keadaan malu-malu. (QS Al-Qasas/28: 25). Sesungguhnya dia merasa malu, sebab ada seorang yang menawarkan kepadanya jamuan, maka ia malu untuk tidak memenuhinya. Rasa malu termasuk salah satu sifat bagi tuan rumah sebagai penjamu.
Rasa malu dikaitkan dengan maqam seorang salik (pencari Tuhan). Orang yang memiliki rasa malu akan lebih banyak diam dan bicara hanya seperlunya dan untuk kepentingan dakwa.
Menurut Dzun Nun al-Mishri, pencinta akan berbicara dan pemalu akan diam. Al-Junaid pernah ditanya tentang malu. Ia menjawab: Malu adalah suatu keadaan yang melahirkan penglihatan terhadap nikmat dan membatasinya merupakan syukur terhadap nikmat tersebut. Ibn Atha mengatakan, ilmu yang paling besar adalah rasa gentar dan malu. Allah berfirman Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. (QS Yusuf/12: 24). S
esungguhnya tanda yang dilihat ialah bahwa ia melemparkan pakaian ke wajah sebuah patung yang ada di rumah. Lalu Yusuf AS. berkata kepadanya: Apa maksudmu berbuat begini? Jawabnya: Sesungguhnya aku merasa malu. Kata Yusuf: Sesungguhnya aku lebih malu lagi kepada Allah. Selanjutnya ditegaskan dalam firman Allah dalam al-Quran. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dalam keadaan malu-malu. (QS Al-Qasas/28: 25). Sesungguhnya dia merasa malu, sebab ada seorang yang menawarkan kepadanya jamuan, maka ia malu untuk tidak memenuhinya. Rasa malu termasuk salah satu sifat bagi tuan rumah sebagai penjamu.
Seorang laki-laki terlihat sholat di luar masjid, lalu
ditanya mengapa tidak masuk dan sholat di dalam saja?
Ia menjawab: Aku malu masuk ke dalam suatu rumah-Nya karena aku telah berdosa kepada-Nya.
Seorang laki-laki lain terlihat tidur di tempat binatang buas. Lalu ditanya, apakah tidak takut tidur di sini?
Ia menjawab: Ketahuilah, bahwa aku malu untuk takut selain diri-Nya. Allah telah mewahyukan kepada Nabi Musa AS: Nasehatilah dirimu. Jika engkau menghiraukan nasehat itu, maka nasehatilah sesama manusia. jika tidak, maka malulah kepada-Ku untuk menasehati manusia.
Disebutkan, jika seseorang duduk untuk menasehati sesama manusia, maka malaikat akan memanggilnya: Nasehatilah dirimu sebagaimana engkau menasehati sesama saudaramu, jika tidak, maka malulah kepada Tuhanmu, sebab Dia melihatmu. Al-Fudhail mengatakan, di antara tanda celaka seseorang adalah kerasnya hati, bengisnya mata, kurang rasa malu, besarnya hasrat duniawi, dan panjang angan-angan.
Ia menjawab: Aku malu masuk ke dalam suatu rumah-Nya karena aku telah berdosa kepada-Nya.
Seorang laki-laki lain terlihat tidur di tempat binatang buas. Lalu ditanya, apakah tidak takut tidur di sini?
Ia menjawab: Ketahuilah, bahwa aku malu untuk takut selain diri-Nya. Allah telah mewahyukan kepada Nabi Musa AS: Nasehatilah dirimu. Jika engkau menghiraukan nasehat itu, maka nasehatilah sesama manusia. jika tidak, maka malulah kepada-Ku untuk menasehati manusia.
Disebutkan, jika seseorang duduk untuk menasehati sesama manusia, maka malaikat akan memanggilnya: Nasehatilah dirimu sebagaimana engkau menasehati sesama saudaramu, jika tidak, maka malulah kepada Tuhanmu, sebab Dia melihatmu. Al-Fudhail mengatakan, di antara tanda celaka seseorang adalah kerasnya hati, bengisnya mata, kurang rasa malu, besarnya hasrat duniawi, dan panjang angan-angan.
Fenomena berkurangnya rasa malu di dalam masyarakat dapat
menjadi pertanda awal dari kehancuran suatu bangsa. Runtuhnya sebuah negara
atau bangsa besar disebabkan oleh lahirnya generasi yang tidak lagi menjunjung
tinggi kehormatan diri dan rasa malu. Ibnu Khaldun selalu mengingatkan kita,
selalu ada generasi perintis lalu disusul generasi pembangun, kemudian disusul
generasi penikmat, dan biasanya disusul lagi oleh generasi penghancur, yaitu
generasi yang kehilangan rasa malu, tidak punya sensitifitas rohani dan sosial.
KH. Nasaruddin Umar
Posting Komentar