Dalam buku Haasyiyah Al
Syabramallisiy (komentar Asy Syabramallisy atas buku Nihaayatul Muhtaaj
karangan Ar Romliy. Buku Nihaayatul Muhtaaj adalah syarh atau keterangan lebih
luas untuk buku Al Minhaaj karangan An Nawawiy ), Asy Syabramullisiy (997- 1087
H) mengutip fatwa Ibnu Hajar Al Haytamiy saat ditanya mengenai alternatif
pengganti sujud tilawah dalam bentuk zikir ini.
Berikut fatwa Al Haytsamiy (909-973
H) yang diambil dari Haasyiyah Al Syabramallisiy,
وَقَدْ سُئِلَ الْعَلامَةُ حَجّ عَنْ
قَوْلِ الشَّخْصِ ( سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَك رَبَّنَا وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ ) عِنْدَ تَرْكِ السُّجُودِ لآيَةِ السَّجْدَةِ لِحَدَثٍ أَوْ عَجْزٍ
عَنْ السُّجُودِ كَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَنَا هَلْ يَقُومُ الإِتْيَانُ
بِهَا مَقَامَ السُّجُودِ كَمَا قَالُوا بِذَلِكَ فِي دَاخِلِ الْمَسْجِدِ
بِغَيْرِ وُضُوءٍ أَنَّهُ يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلا
إلَهَ إلا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ إلَخْ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ رَكْعَتَيْنِ
كَمَا نَقَلَهُ الشَّيْخُ زَكَرِيَّا فِي شَرْحِ الرَّوْضِ عَنْ الإِحْيَاءِ ؟
فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ : إنَّ ذَلِكَ لا أَصْلَ لَهُ , فَلا يَقُومُ مَقَامَ
السَّجْدَةِ : بَلْ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ إنْ قَصَدَ الْقِرَاءَةَ وَلا يَتَمَسَّكُ
بِهَا فِي الإِحْيَاءِ . أَمَّا أَوَّلا فَلأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيهِ شَيْءٌ ,
وَإِنَّمَا قَالَ الْغَزَالِيُّ : إنَّهُ يُقَالُ إنَّ ذَلِكَ يَعْدِلُ
رَكْعَتَيْنِ فِي الْفَضْلِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : إنَّ ذَلِكَ رُوِيَ عَنْ بَعْضِ
السَّلَفِ , وَمِثْلُ هَذَا لا حُجَّةَ فِيهِ بِفَرْضِ صِحَّتِهِ فَكَيْفَ مَعَ
عَدَمِ صِحَّتِهِ . وَأَمَّا ثَانِيًا فَمِثْلُ ذَلِكَ لَوْ صَحَّ عَنْهُ صلى الله
عليه وسلم لَمْ يَكُنْ لِلْقِيَاسِ فِيهِ مَسَاغٌ ; لأَنَّ قِيَامَ لَفْظٍ
مَفْضُولٍ مَقَامَ فِعْلٍ فَاضِلٍ مَحْضُ فَضْلٍ , فَإِذَا صَحَّ فِي صُورَةٍ لَمْ
يَجُزْ قِيَاسُ غَيْرِهَا عَلَيْهَا فِي ذَلِكَ . وَأَمَّا ثَالِثًا فَلأَنَّ
الأَلْفَاظَ الَّتِي ذَكَرُوهَا فِي التَّحِيَّةِ فِيهَا فَضَائِلُ
وَخُصُوصِيَّاتٌ لا تُوجَدُ فِي غَيْرِهَا . ا هـ . وَهُوَ يَقْتَضِي أَنَّ
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدَ لِلَّهِ إلَخْ لا يَقُومُ مَقَامَ السُّجُودِ
وَإِنْ قِيلَ بِهِ فِي التَّحِيَّةِ لِمَا ذَكَرَهُ ( نهاية المحتاج - وفيه حاشية الشبراملسى, ج 2, ص 94 , طباعة
مصطفى الحلبي )
Al ‘Allamah Ibnu Hajar Al
Haytamiy pernah ditanya tentang seseorang yang membaca “sami’naa wa atha’naa
ghufraanaka rabbanaa wa ilaykal mashiir” saat dia tidak melakukan sujud tilawah
ketika membaca ayat sajdah karena hadats atau tidak mampu sujud sebagaimana
kebiasaan yang berlaku di masyarakat kita. Apakah melakukan zikir
tersebut dapat mengganti posisi sujud tilawah, sebagaimana pendapat
mereka (ulama) tentang orang yang masuk ke masjid tanpa wudhu dapat membaca
“subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar” (sebagai
alternatif pengganti shalat tahiyyatul masjid) dengan alasan zikir tersebut
setara dengan shalat (sunnah) dua rakat seperti yang dikutip oleh syaikh
Zakariya Al Anshoriy dalam buku Syarah Al Ar rawdh (lengkapnya, Asnaal
Mathaalib Syarh Rawdhit Thaalib) dari buku Al Ihyaa`?
Ibnu Hajar Al Haytamiy menjawab, Hal itu (penggantian sujud tilawah
dengan zikir sami’naa …) tidak memiliki dasar (dalil) sama sekali. Dengan
demikian zikir sami’naa tidak dapat menempati atau mengganti posisi sujud
tilawah. Bahkan itu makruh jika tujuaannya adalah qira`ah (membaca Al Qur`an).
Keterangan dalam Al Ihyaa` tidak dapat dijadikan pegangan. Alasannya:
Pertama, Tidak ada satupun dalil
mengenai itu (maksudnya –wallahu ‘alam, mengenai penempatan zikir subhanallah
… sebagai alternatif pengganti shalat tahiyyatul masjid). Al Ghazaliy hanya
mengatakan, “Katanya (yuqaal) bahwa zikir tersebut setara dengan shalat sunnah
dua rakaat dalam hal keistimewaan. Sementara selain Al Ghazaliy mengatakan
bahwa penggantian tersebut didasarkan kepada riwayat sebagian ulama Salaf
(merujuk kepada keterangan Al Adzkaar. Pen). Hal-hal seperti ini
(maksudnya: yuqaal dan riwayat sebagian ulama Salaf) –dengan asumsi keduanya
valid- bukan merupakan hujjah atau dalil legal syar’i. Apalagi jika jika
ternyata informasi “yuqaal” dan informasi “diriwayatkan oleh sebagian Salaf”
tersebut tidak valid (shahiih), (tentu penggantian shalat tahiyyatul
masjid dengan zikir subhanallah … semakin tidak memiliki dasar atau
dalil).
Kedua, dengan asumsi informasi
“zikir subhanallah … setara dalam hal fadhilah dengan shalat
sunnah dua rakaat” itu valid dari Rasulullah –shalawat dan salam untuknya- maka
tidak ada peluang untuk melakukan qiyas karena penempatan lafazh (zikir) yang
kurang istimewa menempati posisi pekerjaan yang istimewa adalah murni anugerah
dari Allah. Jika penyetaraan itu valid untuk satu kasus (maksudnya, subhanallah
… setara dengan shalat dua rakat) maka ia tidak boleh dijadikan dasar qiyas
(ashlul qiyas) untuk kasus lain (Maksudnya –wallahu a’lam- dijadikan dasar
untuk mengqiyaskan zikir sami’naa … setara dengan sujud tilawah)
Ketiga, lafazh-lafazh (zikir
subahnallah dan seterusnya) yang mereka sebutkan dalam (kasus alternatif
pengganti) shalat tahiyyatul masjid memiliki keistimewaan dan keunikan
tersendiri yang tidak dijumpai dalam zikir lain (seperti zikir sami’naa … Untuk
itu tidak boleh ada penyamaan antara zikir subhanallah … dengan zikir
sami’naa …).
(Jawaban Ibnu Hajar selesai sampai
sini. Lalu Asy Syabramallisy menarik kesimpulan), “Jawaban Ibnu Hajar ini
berimplikasi bahwa zikir subhnallah … tidak dapat menempati atau
mengganti posisi sujud tilawah meskipun hal itu dikatakan bisa berlaku untuk
tahiyyatul masjid berdasarkan apa yang dituturkan oleh Ibnu Hajar Al Haytamiy.”
(jawaban Ibnu Hajar Al Haiytami ini
juga dapat dijumpai dalam buku Al Fataawaa Al Fiqhiyyah Al Kubraa, j. 2, hlm.
244, Maktabah Syamilah, dengan redaksi yang lebih panjang. Buku ini berisi
fatwa-fatwa Ibnu Hajar Al Haytamiy)
Sampai sini dapat dicermati bahwa
telah terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh syafi’iyyah sendiri mengenai
apakah sujud tilawah dapat diganti dengan alternatif zikir atau tidak.
Ust. Faishol Ponpes Al Muta'allimin Jakarta
Posting Komentar