Mengenai musik, menurut Imam al-Ghazali hukum menyanyi
diiringi dengan alat musik itu diperbolehkan dengan syarat:
pertama, tidak
dinyanyikan oleh perempuan yang haram dilihat dan lantunannya tidak menimbulkan
fitnah.
Kedua, tidak menggunakan alat-alat yang diharamkan oleh syara’ seperti
seruling, gitar, dan kendang.
Ketiga, tidak mengandung kata-kata kotor, bahkan
pengingkaran terhadap Allah dan Rasulullah.
Keempat, pendengar lagu lantas
tidak langsung dikuasai nafsu kala mendengarnya.
Kelima, lirik lagu
memungkinkan mengaspirasi diri untuk menambah kedekatan kepada Allah.
Jika
tidak memenuhi kriteria tersebut, maka, menurut Imam al-Ghazali, menyanyikan
lagu dengan diiringi musik hukumnya haram. (Ihya’ Ulumiddin, II,
306-308)
Kriteria yang dipatok Imam Ghazali ini bukan tanpa dasar. Ada
hadits Nabi yang mengungkapkan:
إن الله حرم الخمر
والميسر والكوبة وكل مسكر حرام
Sesungguhnya Allah mengharamkan arak, judi, gendang. Dan
setiap barang yang memabukkan adalah haram.
Juga hadits Nabi:
بعثت بكسر المزامر
Aku (Nabi) diutus untuk menghancurkan seruling.
Bila dalam suatu perayaan diiringi alat
malahi, maka diharamkan. Alat malahi tersebut merupakan segala macam alat-alat orkes (malahi)
seperti seruling dengan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya,
kesemuanya itu haram, kecuali terompet perang, terompet jamaah haji, seruling
penggembala, dan seruling permainan anak-anak yang tidak dimaksudkan untuk
dipergunakan hiburan atau dalam pelaksanaannya terdapat bentuk istikhfaf (meremehkan).
(Kifayatul Akhyar, II, 201-202; Syarhu Sullamit Taufiq, 13; Faidu al-Qodir, VI,
433).
Sementara alat musik yang dihalalkan adalah seperti rebana.
Karena ada hadits dari Rubayyi’ binti Muawwidz:
دخل علي النبي صلى الله
عليه وسلم غداة بُنِيَ عَلَيَّ فجلس على فراشي كمجلسك مني وجويريات يضربن بالدف
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam datang ketika acara pernikahanku.
Maka beliau duduk di atas tempat tidurku seperti duduknya engkau (Khalid bin
Dzakwan) dariku. Datanglah beberapa anak perempuan yang memainkan/memukul
rebana. (HR. Bukhari)
Sedangkan ihwal berjoget, lagi-lagi ada setidaknya dua
pendapat. Pendapat pertama mengatakan kalau goyangan tubuh dan gemulai badan yang
merangsang birahi hukumnya haram. Karena bagi yang mengatakan halal, orang
tersebut termasuk fasik. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, IV, 2665)
Pendapat kedua menghalalkan. nampaknya dari ikhtilaf
tersebut, pendapat yang menghalalkanlah yang lebih kuat. Karena ada hadits:
قدم وفد الحبشة فجعلوا يزفنون ويلعبون
Serombongan utusan raja Habasyah (Etiopia) datang kepada
Nabi, lalu mereka menari dan menyanyi (di hadapan beliau).
Bahkan di riwayat lain, Rasul pernah memberi izin kepada
‘Aisyah untuk menyaksikan tarian orang-orang Zanuj (ras kulit hitam) di
hari raya.
Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali ternyata berpendapat kalau
sebenarnya tarian itu tidak dilarang. Yang menjadikannya haram adalah faktor
eksternal (luar). Maka ketika faktor itu hilang, maka tarian tidak menjadi
masalah. Diambil dari hadits di atas, Nabi pernah melihat tarian orang dari
delegasi Habasyah. Beliau tidak membenci gerak tubuh gemulai tersebut. Lagi
pula, Allah tidak memberi hukuman bagi orang yang melakukan hal yang sia-sia.
Andai saja ada seseorang bermain dengan meletakkan tangannya seratus kali di
kepalanya selama seratus hari, tuhan tidak akan menghardiknya meskipun hal itu
sia-sia. (Ihya’ Ulumiddin, II, 309)
Buletin E Fajr Qudsiyyah Kudus
Posting Komentar