Di Indonesia, ada salah satu doktor
di bidang Hadits yang terpengaruh oleh pemikiran seperti ini, terutama dalam
mengkritik Imam Bukhari. Bahkan ia jadikan kritik ini sebagai disertasi dalam
meraih gelar doktornya. Adalah Dr. Muhibbin Noor, seorang doktor di bidang
Hadits lulusan UIN Sunan Kalijaga yang menulis buku Kritik Keshahihan Hadits
Imam Bukhari, Telaah Kritis Atas Kitab al-Jami’ al-Shahih, yang
menyatakan bahwa di dalam kitab al-Jami’ al-Shahih terdapat Hadits-hadits yang
dhaif, palsu dan bertentangan dengan Al-Qur-an.
Dalam bukunya, Dr Muhibbin
menyebutkan riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Al-Qur-an ataupun dengan
Hadits yang lain, antar lain Hadits tentang siksa mayit karena ditangisi
keluarganya, Hadits tentang Isra Mi’raj, Hadits tentang Nabi SAW terkena sihir
dan masih banyak lagi. Di dalam buku tersebut ada sekitar delapan riwayat yang
dijadikan sample dalam mengkritisi kitab Jami’ as-Shahih. Amat disayangkan
sekali, Dr. Muhibbin tidak banyak mengambil pendapat-pendapat ulama Hadits yang
sudah mu’tabar dan mempunyai otoritas dalam keilmuan ini, akan tetapi rujukan
yang dia ambil adalah orang-orang yang dalam mengkritisi Hadits banyak
dipermasalahkan para ulama Hadits seperti Ahmad Amin, Syeikh Muhammad Ghozali,
dan Abu Rayyah.
Bagaimana bisa dikatakan ilmiyah
sebuah disertasi yang mengkritisi metodologi periwayatan Hadits dalam al-Jami
al-Shahih, ia mengambil maraji’ (sumber surjukan) tokoh yang banyak
dipermasalahkan. Bagaimana Dr. Muhibbin mengklaim salah satu Hadits yang ada di
dalam al-Jami al-Shahih bahwa Hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’an
dengan menukil pendapat Abu Rayyah yang mana tokoh ini oleh banyak ulama
dianggap sebagai tokoh Inkarussunnah.
Dalam bukunya Adwa Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, Abu Rayyah juga memposisikan sahabat sebagaimana layaknya para perawi yang lain. Seorang sahabat bisa saja melakukan perbuatan sesuai dengan karakter manusia biasa. Diantara para sahabat mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam menjaga moralitas dan integritasnya. Kalau sahabat yang mempunyai moralitas tinggi, bagi Abu Rayyah tidak menjadi masalah, tapi bagi para sahabat yang moralitasnya rendah, maka tidak layak untuk mendapatkan peringkat al-Adaalah. Dia tidak setuju dengan konsep `Adalah as-Sahaabah dalam periwayatan Hadits secara keseluruhan. Padahal, disamping adanya rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya, kredibilitas Sahabat (‘Adalah as-Shohabah) sebagai periwayat Hadits juga telah disepakati oleh para Ulama. Dalam buku al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah, Al-Khatib Al-Baghdadi (w 463) menuturkan bahwa seluruh Sahabat memiliki kredibilitas sebagai periwayat Hadits adalah merupakan madzhab semua ulama, baik ulama Hadits maupun ulama Fiqh.
Menanggapi tentang salah satu
riwayat yang dikutip oleh Dr Muhibbin, yaitu Hadits Umar r.a. tentang siksa
mayit karena ditangisi keluarganya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
“Sesungguhnya mayat itu disiksa disebabkan karena sebagian tangis keluarganya
terhadap mayat tersebut”. Di dalam bukunya, dia juga menyertakan riwayat Aisyah
yang bertentangan dengan riwayat Umar tersebut yang berbunyi “Sesungguhnya
Allah akan menambah siksa orang kafir karena ditangisi keluarganya”. Selain
menyebutkan riwayat Aisyah ini, Dr Muhibbin juga mengutip Ayat-ayat Al-Qur’an
yang menurutnya bertentangan dengan Hadits ini diantaranya An-Najm ayat 38-41
dan Al-An’am ayat 164.
Dari argumen-argumen Dr. Muhibbin
diatas, kalau kita lihat sepintas memang masuk akal, apalagi bagi masyarakat
umum. Sebenarnya, cara semacam ini hampir sama dengan cara orientalis dalam
mengecoh pembaca, yaitu dengan mendistorsi pendapat-pendapat ulama Hadits
tentang penyelesaian suatu Hadits yang kelihatannya bertolak belakang atau
kotroversial.
Para Ulama sudah mempunyai metodologi dalam memaknai Hadits seperti ini. Karena Aisyah maupun Umar sama-sama tidak mungkin berdusta, maka para ulama telah menetapkan bahwa kedua versi hadits (riwayat Umar dan Aisyah) tersebut adalah shahih. Kedua Hadits itu memang kontroversial, maka para ulama kemudian memahaminya dengan melakukan pendekatan jamak, yaitu menggabungkan pengertian kedua versi tersebut. Sehingga maksud Hadits itu berbunyi, “Mayat yang kafir akan ditambahi siksanya apabila ditangisi keluarganya, dan mayat yang muslim akan disiksa apabila ia (sebelum mati) berpesan agar ditangisi keluarganya.” Adapun ayat-ayat yang disebutkan itu berkaitan dengan keduniaan. Sebagaimana surat al-An’am 164, yang menurut Ibn Qutaibah ini berkaitan dengan hukum dunia. Jadi di dunia, manusia tidak akan menanggung kesalahan orang lain.
Tampaknya Dr. Muhibbin terlalu
tergesa-gesa dalam menganalisa kontroversialitas Hadits ini tanpa melakukan
metode jamak sebagaimana yang dilakukan ulama-ulama Hadits. Kalaupun tidak bisa
dilakukan dengan metode jamak ini, para ulama juga masih mempunyai
metode-metode alternatif lain yaitu metode naskh (Hadits yang dahulu dinyatakan
dihapus masa berlakunya oleh hadits yang disabdakan belakangan), metode tarjih
(meneliti Hadits yang mana memiliki kualitas ilmiyah tertinggi diantara
Hadits-hadits yang kontroversial tadi), dan metode tawaquf (maksudnya
Hadits-hadits yang kontroversial dibiarkan saja sementara, seraya terus
diteliti mana yang mungkin dapat meningkat kualitasnya), dan tampaknya metode
ini juga tidak dilakukannya.
Ust. Kharis Nur
Posting Komentar