Alquran berbicara tentang
kematian dalam banyak ayat, sementara pakar memperkirakan
tidak kurang dari tiga ratusan ayat yang berbicara tentang
berbagai aspek kematian dan kehidupan sesudah kematian kedua.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa pembicaraan
tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Bahkan
manusia ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan
Chairil Anwar, tetapi Alqur'an pun melukiskan keinginan
sekelompok manusia untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah
[2]: 96). Iblis berhasil merayu Adam dan Hawa
melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya.
"Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan
(hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120).
Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati.
Ada orang yang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa
yang akan dihadapinya setelah kematian; mungkin juga karena menduga bahwa yang
dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan didapati nanti. Atau mungkin juga
karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati.
Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang
ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain
sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.
Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis
dan pesimistis terhadap kematian dan kehidupan, bahkan dari kalangan para
pemikir sekalipun. Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak
mampu mengetahui hakikat kematian. Karena itu kematian
dinilai sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar.
Walaupun pada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak
diketahui, namun setiap menyaksikan bagaimana kematian merenggut nyawa yang
hidup manusia semakin terdorong untuk mengetahui hakikatnya atau,
paling tidak, ketika itu akan terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika
ia pun pasti mengalami nasib yang sama.
Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak
memilih usia atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampai terpenuhi
semua keinginan. Di kalangan sementara orang, kematian menimbulkan
kecemasan, apalagi bagi mereka yang memandang bahwa hidup
hanya sekali yakni di dunia ini saja. Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya
menilai kehidupan ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari
siksaan itu, mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari
sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan
melakukan apa saja secara bebas tanpa kendali, demi mewujudkan
eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari segala sesuatu? Kilah mereka.
Sebenarnya akal dan perasaan manusia
pada umumnya enggan menjadikan kehidupan atau eksistensi
mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa
mereka harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan
berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian sebagai
kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaan berbagai cara
untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya, dengan
menyediakan kuburan, atau tempat-tempat tersebut
dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi
dari keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap
masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.
Hubungan antara yang hidup dan yang
telah meninggal amat berakar pada jiwa manusia. Ini tercermin
sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut
oleh umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal
tersebut sehingga orang-orang Mesir Kuno misalnya,
meyakini benar keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik
yang dapat mengawetkan mayat-mayat mereka ratusan
bahkan ribuan tahun lamanya.
Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan
bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan
panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan
memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa
dan kenistaan.
Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai
peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta
menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak
akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak
akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu,
agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang
kematian. Rasul Muhammad Saw, misalnya bersabda, "Perbanyaklah
mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian)."
Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban
percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah
kematian.
Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan
dan kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut
Raghib Al-Isfahani: "Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari
badan, merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian
adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana diriwayatkan
bahwa, "Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
harus berpindah dan satu negen ke negen (yang lain) sehingga kalian menetap di
satu tempat." (Abdul Karim Al-Khatib, I:217)
Demikian Alquran menggambarkan kematian yang akan
dialami manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci Alqur'an
menginformasikan tentang kematian yang dapat mengantar seorang mukmin
agar tidak merasa khawatir menghadapinya. Sementara, yang tidak beriman
atau yang durhaka diajak untuk bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan
siksaan. Semoga kita semua mendapatkan.
KH. Prof. DR. M. Quraish Shihab
Posting Komentar