Melalui perintah puasa, Allah memperlihatkan bukti kasih sayangNya yang
tanpa batas kepada manusia. Di antara bentuk kasih sayang itu, adalah diberitahukannya
suatu jalan yang dapat menyampaikan ke derajat yang paling mulia dalam
pandangan Allah, yaitu menjadi orang yang paling bertakwa (QS Al Hujurat : 13).
Untuk bisa mencapai derajat itu, orang-orang yang beriman diwajibkan
melakukan puasa di bulan di Ramadan (QS Al Baqarah: 183). Menahan diri dari
lapar, dahaga, hubungan seks serta menghindarkan diri dari larangan Allah,
merupakan pekerjaan yang berat. Karena itu, perintah puasa ditujukan kepada
orang-orang yang beriman, yang dengan sadar dan ikhlas akan melakukan perintah
Tuhannya.
Hakikat perintah dan larangan itu sesungguhnya bertujuan untuk kebaikan
manusia itu sendiri. Maka bagi yang berpuasa sesuai dengan tuntunan agama, akan
mempunyai kepribadian mutaqin (orang yang takwa). Sedangkan mutaqin akan
memperoleh kebahagiaan, antara lain bertempat tinggal di surga (QS Ali Imron :
15) dan diwafatkan dalam keadaan baik (QS An Nahl: 32).
Kasih Allah kepada hambaNya tidak pernah dibedakan. Maka peluang untuk
meraih derajat ketakwaan melalui puasa itu diberikan kepada mukmin laki-laki
dan perempuan. Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan diberikan kemampuan oleh
Allah untuk mencapai prestasi spiritual yang tertinggi, sama dengan laki-laki.
Oleh karenanya, kaum perempuan sejak masa Rasulullah sampai sekarang, selalu
berusaha untuk dapat melakukan amalan wajib maupun sunah di bulan Ramadan.
Selain menjalankan puasa, para istri Nabi juga melaksanakan ibadah ini malam
hari. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa Rasulullah selalu
membangunkan keluarganya untuk beribadah pada sebuah malam yang akhir pada
bulan Ramadan.
Selain shalat tarwih, para isteri Nabi juga melakukan i’tikaf di masjid.
Sampai Aisyah, Hafsah dan Zainab membuat tenda-tenda di masjid. Pada awalnya,
Rasulullah tidak suka dengan yang dilakukan mereka, sebab bisa mengganggu
konsentrasi jamaah. Untuk mengetahui tanggapan yang berada di masjid waktu itu
Rasulullah bertanya ”Menurut kalian, apakah mereka berbuat kebaikan dengan
tenda-tenda seperti itu? Dengan keseriusan para istri itu, Rasulullah juga
khawatir kalau i’tikaf dianggap ibadah wajib.
Karena itu, maka Rasulullah membatalkan i’tikafnya pada waktu itu dan
menggantinya selama sepuluh hari di bulan Syawal. Hal ini mengajarkan pada
kita, bahwa i’tikaf untuk mendekatkan diri pada Allah dengan dzikir, tadarus
Alquran dan mukhasabah (introspeksi diri) tidak terbatas pada bulan Ramadan.
Mengenai keikutsertaan pada istri Nabi beri’tikaf, sesungguhnya Rasulullah
telah mengajarkan bahwa perempuan lebih baik melakukan ibadah di rumah. Agar
terhindar dari madharat, yang terkait dengan urusan keluarga maupun dirinya
sendiri. Gangguan keamanan merupakan salah satu yang menjadi bahan
pertimbangan, mengingat kondisi geografis dan budaya Arab pada waktu itu, tidak
bisa menjamin keselamatan perempuan untuk keluar rumah tanpa muhrim. Namun,
bagi istri Nabi tidak dikhawatirkan adanya gangguan, sebab tempat tinggal
mereka sangat dekat dengan masjid. Karena itu, Aisyah memberitahukan bahwa Nabi
selalu beri’tikaf pada sepuluh malam yang akhir di bulan Ramadan hingga beliau
wafat.
Kemudian istri-istri Nabi beri’tikaf seperti itu sepeninggal beliau. Hal itu
dilakukan, tentu seizin Nabi setelah mengetahui tidak adanya madharat yang
ditimbulkan, akibat ikut sertanya perempuan untuk beri’tikaf di masjid.
Disamping puasa, para istri Nabi juga melakukan kegiatan sosial, yang
dilakukan pula di luar bulan puasa. Seperti Aisyah dengan membagikan hartanya
kepada fakir miskin, Ummu Salamah mengurus anak-anak yatim, Zainab binti Jahsyi
dengan menyantuni anak-anak yatim dan para janda. Karena Zainab mempunyai sifat
dermawan, terampil membuat kerajinan,menyamak serta menjahit, sehingga dikenal
dengan sebutan ”ibu yang tangannya panjang”. Maksudnya ibu yang suka
mengulurkan bantuan bagi yang membutuhkan.
Melalui tangannya Zainab bisa berkreasi dan melatih para janda untuk membuat
kerajinan yag dapat mereka jual, dan dengan hartanya, Zainab menolong kaum
lemah (dhuafa). (11)
Prof. DR. Sri Suhandjati Sukri, Dosen IAIN Walisongo Semarang
Posting Komentar