Beberapa bank dan usaha perkreditan menawarkan model pembayaran haji
secara kredit. Proses pelunasan umumnya berlangsung sampai jamaah haji tiba
dari tanah suci, artinya haji dilangsungkan dengan cara berhutang. Ada semacam semangat
untuk berupaya memudahkan umat Islam untuk berhaji: “Haji itu rukun Islam, buat
apa dibuat sulit.”
Di Indonesia kelihatannya “haji
kredit” ini belum dibincang meski banyak juga yang telah berhaji dengan model
hutang ini. Namun, di Malaysia, haji kredit ini hampir menjadi tren. Seorang
bahkan bisa saja memanfaatkan pinjaman yang disediakan oleh perbankan atau
institusi lainnya untuk berhaji.
Ya, haji memang kewajiban manusia
kepada Allah, dan tentu harus dimudahkan. Lalu bagaimana dengan persyaratan
bahwa yang wajib menjalankan haji itu harus “istito’ah” atau berkemampuan
melakukannya?
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) orang yang sanggup (istitho’ah) mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali- Imran :
97)
Istitho’ah dalam hal pembiayaan
dimaksudkan sebagai kecukupan untuk membayar biaya perjalanan dan biaya untuk
dirinya saat pergi ke tanah suci dan balik ke negeri asalnya. Selain itu
istito’ah juga dimaksudkan sebagai kecukupan atas keperluan nafkah bagi
keluarga atau orang di bawah tanggungan orang yang hendak berhaji.
Pada titik ini para tokoh dan pakar
ekonomi Islam yang memperbolehkan haji kredit berpandangan bahwa pola pekerjaan
dan pendapatan pada zaman dahulu berbeda dengan pola pekerjaan pada zaman
sekarang dimana telah ada kontrak kerja dengan tempo dan penghasilan yang
jelas. Sehingga kredit pun bukan sesuatu yang menghawatirkan dan merupakan
bagian dari pola pekerjaan atau aktivitas ekonomi zaman ini.
”Tidak ada pula nash Al-Qur’an dan
Hadits yang jelas-jelas melarang seseorang yang bakal menunaikan haji dengan
uang cara kredit untuk tujuan memudahkannya, dan mungkin memudahkan keluarganya
untuk menunaikan haji,” kata Tokoh ekonomi Islam Malaysia, Dr. Mohd. Daud
Bakar, Direktur Eksekutif International Institute of Islamic Finance Inc yang
berkedudukan di Kuala Lumpur.
Sepertinya, pendapat mengenai
kebolehan “haji kredit” dengan berbagai alasannya tidak perlu diterima begitu
saja. Kita perlu bimbang apakah keinginan untuk “memudahkan diri untuk
menjalankan perintah Allah” bukan sekadar keinginan agar mudah melakukan
kunjungan dan rekreasi keluarga ke tanah suci. Dari pihak bank atau instansi
kredit, kita pun sulit membedakan antara keinginan untuk “memudahkan umat Islam
menjalankan perintah Allah” dan keinginan mencari keuntungan dari usaha kredit.
Para ulama memang memperbolehkan
membayar haji secara kredit tapi harus diselesaikan menjelang keberangkatan
haji. Hal ini untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan pada saat orang melaksanakan haji. Adapun hukum haji yang
dilaksanakan tetap syah namun tidak diwajibkan. Artinya yang dilakukan bukanlah
haji yang diwajibkan Allah kepada hambanya, namum umrah biasa yang disunnahkan.
KH. A Khoirul Anam (NU Online)
Posting Komentar