Ketika itu kota Mekah sudah
diislamkan. Umat Islam yang berpusat di Madinah dipimpin Rasulullah SAW
menunaikan ibadah haji. Inilah kunjungan Nabi Muhammad SAW untuk kali pertama
dan terakhir, sesudah semua berhala di sekitar Ka'bah dibersihkan. Saat itu
kita Mekah menjadi kota suci yang hanya boleh dikunjungi oleh kaum muslimin.
Waktu wuquf di Arafah Sayyidina Muhammad menerima wahyu terakhir yang kemudian
termuat dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah (5) ayat 3.
Terjemahnya menurut Departemen Agama
: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridlai Islam itu jadi agama
bagimu".
Kebanyakan sahabat menyambut gembira
turunnya ayat ini. Sebab bagi mereka, Islam sudah selesai diajarkan dan tinggal
mengamalkannya. Namun lain dengan Abu Bakar yang merespon dengan kesedihan.
Beliau malah menangis sesenggukan. Alasannya; kalau Islam sudah selesai
diajarkan, itu berarti tugas Rasulullah SAW sudah rampung juga. Apa itu bukan
berarti beliau juga akan segera berpisah dengan kita.
Kecemasan As-Sidiq ini memang terbukti. Dua bulan sesudah itu, Rasulullah SAW wafat (Senin, 12 Rabiul Awal 11 H = 9 Juni 632). Saat itu pula muncul persoalan yang jawabannya tidak bisa diperoleh langsung dari pesan Rasulullah. Yaitu; siapa pengganti kepemimpinan beliau. Isu ini sangat sensitif dan di kemudian hari mempunyai implikasi mempengaruhi cara memahami ajaran yang tadi dinyatakan sudah sempurna.
Belum lagi jenazah Rasulullah
dimakamkan, beberapa tokoh Anshor sudah berkumpul di Balai Bani Saidah,
beberapa puluh meter dari dalem Kangjeng Rasul, membahas "capres".
Mayoritas majlis menyepakati pengganti kepemimpinan Rasulullah harus
"Putra Daerah". Alasannya sangat kuat. Mereka inilah yang
menfasilitasi sehingga dakwah Islamiyah berjalan lancar. Sebelumnya waktu di
Mekah, aktivitas Rasulullah SAW terkekang dan pengikutnya terus mendapat
intimidasi.
Tapi kesepakatan itu akhirnya dapat
diurai dengan kehadiran beberapa tokoh Muhajirin. Mereka akhirnya dapat
menerima pengganti Rasul adalah Abu Bakar yang bukan asli Madinah. Baru sesudah
itu para sahabat -radliyallahu anhum- menengok jenazah yang mulia SAW. Tapi
disitu, sejak beliau wafat hingga belasan jam kemudian, anggota keluarga tidak
pernah lepas menjaga dan merawatnya. Ahlul Bait ini tidak sempat umek memikirkan
capres, karena begitu mendalamnya duka. Dan mungkin mereka juga merasa kurang
etis bila dalam keadaaan begini sudah berebut kursi. Tapi akhirnya mereka,
dengan besar hati, juga mengakui kepemimpinan Abu Bakar.
Kemudian Abu Bakar memimpin selama
dua tahun, digantikan Umar bin Khatthab, selama 11 tahun, kemudian giliran
Utsman bin Affan selama 12 tahun, dan terakhir Ali bin Abi Thalib selama 4
tahun. Masa sekitar 30 tahun itu disebut kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, para
pengganti kepemimpinan yang cerdas. Mereka memang menduduki kursi bukan dalam
pengertian politik kekuasaan, tetapi menekankan kepemiminan agama. Akan tetapi
di sekitar mereka terus bergolak isu politik.
Begitu tersiar bahwa Rasulullah SAW
wafat, hampir semua suku di luar Madinah membangkang kepemimpinan Islam, alias
murtad. Mereka ini masuk Islam setelah takluknya kota Mekah (Fathu Makkah).
Jadi terpaksa mengakui kekuatan Islam, bukan karena iman. Hal ini dapat diatasi
dengan baik pada masa Abu Bakar. Kemudian tiga pengganti (Khalifah) berukutnya
berakhir dengan pembunuhan. Semua itu aroma politik.
Waktu Abu Bakar dipilih sebagai
khalifah, semua -secara formal dan nalar- mengakui. Tapi perasaan dan emosi
yang berkecamuk mewarnai perkembangan berikutnya. Seiring dengan perkembangan
ekspansi wilayah kekuasaan Islam, rangkaian pembunuhan Umar, Utsman dan Ali
membuktikan hal itu.
Dan ini makin tidak bisa
disembunyikan ketika pemerintahan sayyidina Utsman. Rasa tidak puas terhadap
pengangkatan Kepala Daerah, memunculkan protes dan gugatan di mana-mana. Dan
ujungnya pembunuhan terhadap Utsma. Hal ini berakibat balas dendam dari keluarga,
Bani Umayah. Maka ketika Sayyidina Ali menggantikan khalifah perasaan itu
ditunjukkan kepadanya, dengan menuntut agar para pembunuh Utsman dihukum
setimpal. Dan ketidakpuasan akan pelaksanaan tuntutan ini berujung pada
pembunuhan kepada Ali, bahkan kemudian putranya Sayyid Husein. Seiring dengan
itu ribuan nyawa para pewaris ajaran Islam angkatan pertama itu ikut terbunuh.
Dan mulai saat itu kepemimpinan
Islam selama 90 tahun, jatuh ke tangan Bani Umayah. Kepemimpinan tidak lagi
mengandalkan kompetensi dan kepabilitas keagamaan, tetapi berdasarkan
keturunan.
Di sisi lain rangkaian huru-hara di
kalangan umat generasi awal Islam ini sangat berpengaruh kepada pewarisan
ajaran. Kelompok-kelompok saling bertentangan akan mencari pembenar dari
dalil-dalil yang "dikatakan" bersumber dari Rasulullah. Lebih-lebih
bagi yang sedang berkuasa dengan leluasa memonopoli kebenaran dengan mengklaim
adanya dalil, dan menyatakan bahwa dalil lawan adalah lemah bahkan palsu.
Inilah awal timbulnya sekte-sekte
keagamaan dalam Islam, yang pada dasarnya adalah urusan politik yang dicarikan
pembenaran dari Al-Qur'an dan Hadits, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan
ajaran Islam. Namun, akibat usaha pembenaran ini serta penyebarluasannya,
urusan politik itu menjadi sebuah ideologi yang cenderung menyimpang dari
kebenaran. Munculnya Syi'ah dan Khawarij adalah contoh, dimana urusan politik
malah menjadi sebuah ajaran keagamaan.
Maka kemudian lahirlah kelompok
Ahlussunnah Wal Jamaah yang berusaha mencari kebenaran yang lurus di tengah
bertebarannya isu politik yang dipoles dengan dalil agama. Kelompok yang
menjadi penengah diantara kelompok yang cenderung ke kiri dan kelompok yang
cenderung ke kanan. Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah ajaran memberikan pencerahan
kepada alam semesta, tidak malah menggelisahkan. Ajaran ini adalah ajaran yang
akan bisa diterima oleh semua orang yang menggunakan hati nuraninya kapan pun
dan di mana pun, serta tidak menimbulkan konflik batin dan tidak menimbulkan
benturan sosial.
Sumber: Refleksi Majalah AULA Edisi No. 04
Tahun XXXIII April 2011
Posting Komentar