Berawal dari komunikasi sederhana, dilanjut dengan saling
curhat, hingga tertanam rasa cinta karena syahwat. Lebih parah lagi, ketika kejadian
itu dialami oleh mereka yang telah berkeluarga. Karena interaksi lawan jenis
yang tidak halal, Allah cabut rasa cintanya terhadap keluarganya, digantikan
dengan kehadiran orang baru dalam hatinya.
Disadari maupun tidak, sejatinya itu merupakan hukuman bagi
orang yang telah bisa menikmati segala yang haram, Allah hilangkan dari dirinya
untuk bisa menikmati sesuatu yang halal.
Diantara dosa besar yang mungkin jarang diketahui oleh kaum
muslimin adalah dosa takhbib yang sering menjadi penyebab perceraian dan kerusakan rumah
tangga. Karena kehadirannya, membuat seorang wanita menjadi benci suaminya dan
meminta untuk berpisah dari suaminya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadis,
memberikan ancaman keras untuk pelanggaran semacam ini. Diantaranya dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﺧَﺒَّﺐَ ﺍﻣﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭﺟِﻬَﺎ
”Bukan bagian dariku seseorang yang melakukan takhbib
terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Daud)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ
”Siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya
maka dia bukan bagian dariku.” (HR. Ahmad).
Takhbib termasuk salah satu dosa besar. Karena ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk meminang wanita yang
telah dilamar oleh lelaki lain, dan melarang seseorang menawar barang yang
sedang ditawar orang lain, maka bagaimana lagi dengan orang yang berusaha
memisahkan antara seorang suami dengan istrinya atau budaknya, sehingga dia
bisa menjalin hubungan dengannya. (al-Jawab al-Kafi)
Dalam Syarah Sunan Abu Daud Adzim Abadi (w. 1329 H)
menjelaskan, takhbib secara bahasa artinya menipu dan merusak. Dengan
menyebut-nyebut kejelekan suami di hadapan istrinya atau kebaikan lelaki lain
di depan wanita itu. (Aunul Ma’bud, 6/159).
Di bagian lain, beliau juga menyebutkan,
ﻣَﻦْ ﺧَﺒَّﺐ ﺯﻭﺟﺔ ﺍﻣﺮﺉ ﺃﻱ ﺧﺪﻋﻬﺎ ﻭﺃﻓﺴﺪﻫﺎ ﺃﻭ ﺣﺴﻦ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﻟﻴﺘﺰﻭﺟﻬﺎ
ﺃﻭ ﻳﺰﻭﺟﻬﺎ ﻟﻐﻴﺮﻩ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ
‘Siapa yang melakukan takhbib terhadap istri seseorang’
maknanya adalah siapa yang menipu wanita itu, merusak keluarganya atau
memotivasinya agar cerai dengan suaminya, agar dia bisa menikah dengannya atau
menikah dengan lelaki lain atau cara yang lainnya. (Aunul Ma’bud, 14/52).
Imam Ad-Dzahabi mendefinisikan takhbib dengan definisi
berikut,
ﺇﻓﺴﺎﺩ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺟﻬﺎ
”Merusak hati wanita terhadap suaminya.” (al-Kabair, hal.
209).
Usaha memisahkan wanita dari suaminya, tidak hanya dalam
bentuk memotivasi si wanita untuk menuntut cerai dari suaminya. Yang juga
termasuk takhbib adalah ketika seseorang memberikan perhatian, empati, menjadi
teman curhat terhadap wanita yang sedang ada masalah dengan keluarganya. Maka
berati-hatilah dalam bergaul dengan lawan jenis siapapun dia. Bisa jadi pada
awalnya seseorang memiliki niat baik, niat saling menolong, niat merasa
kasihan, perlu ada teman untuk berbagi rasa.
Kan gak ada masalah kalo cuma jadi teman curhat, yang
penting gak ada perasaan apa-apa. Kita kan niatnya baik, saling mengingatkan
dan menasehati.
Saya merasa dekat dengan Allah semenjak kenal dia, kita
saling mengingatkan untuk tahajud, untuk puasa sunah, saya menjadi rajin ibadah
karena nasehatnya, hatiku merasa nyaman dan tentram bersamanya, semoga dia
menjadi pasanganku di surga…, dan seabreg khayalan kasmaran lainnya.
Al-Hasan bin Sholeh mengatakan,
ﺇﻥ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻟﻴﻔﺘﺢ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﺗﺴﻌﺔ ﻭﺗﺴﻌﻴﻦ ﺑﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻳﺮﻳﺪ ﺑﻪ ﺑﺎﺑﺎ
ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮ
“Sesungguhnya setan membukan 99 pintu kebaikan, untuk
menjerumuskan orang ke dalam satu pintu keburukan.” (Talbis Iblis)
Waspada bagi para lelaki, jangan sampai menerima curhat
wanita tentang keluarganya. Bisa jadi ini langkah pembuka Iblis untuk semakin
menjerumuskan anda. Terkecuali jika anda seorang ulama, tokoh agama, yang berhak
memberikan fatwa dengan ilmunya. Anda bisa menjelaskan halal-haram suatu masalah. Wallahu'alam.
M. Syafi'i
Posting Komentar