Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah
satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad
hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari
sahabat Anas bin Malik.
Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering disebut berulang-ulang seiring dengan sering
diulangnya nama Anas bin Malik.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli
ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits
dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu
‘anhuma- . Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan
Yazid bin Abdilmalik.
Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka
untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh). Tatkala aku
tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di
suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah
yang di dalamnya ada seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua
kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu
anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu
berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa
menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan
makhluk yang telah Engkau ciptakan”“
Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini,
dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini,
apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya
itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu
kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku
agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas
kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh
telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan“,
maka nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau
memuji Allah atas nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah yang telah Allah
anugerahkan kepadamu hingga engkau mensukurinya??”
Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh
Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga
membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga
menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau
memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin
membuat aku bersyukur kepadaNya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku
berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku
maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk
membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa
berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat
tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika
aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan
dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar tentangnya –semoga Allah merahmati
engkau-”.
Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan
seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah,
lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan
keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari
situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra orang
tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun mengucapkan inna
lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini
kepada orang tersebut??”. Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut,
maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui
orang tersebut dan akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku
dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata,
“Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk
membantuku?”.
Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi
Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis Salam “, aku
berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?,
bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”,
orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi
Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur,
dan memuji Allah”.
Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan
sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah
sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata,
“Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan
orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata,
“Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar,
bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah
merahmatimu-!!”.
Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan
pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah
melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata,
“Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat
kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna
lillah wa inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu
meninggal dunia.
Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, besar musibahku, orang
seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas,
dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu akupun
menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat
kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah,
ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada
mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu,
siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun
bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi
Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah,
demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.
Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati
kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat
cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun
memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami
menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi
menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala tiba malam hari, akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia
berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga
sambil membaca firman Allah:
“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran
kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)
Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”,
ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”,
ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang
tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa
dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram
bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun
dalam kaeadaan di depan khalayak ramai”
Kitab Ats-Tsiqoot Karya Ibnu Hibban
Posting Komentar