Berlawanan
dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai
kemuliaan dari sisi Allah SWT, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang
mulia, Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ
اللهُ
“Dan
tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan
mengangkatnya.” (HR. Muslim)
Tawadhu’
karena Allah SWT ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah,
sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk
menunaikan hukum- hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah karena Allah SWT, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap
sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah SWT.
Kedua
makna ini benar. Apabila
seseorang merendahkan diri karena Allah SWT, maka Allah SWT akan mengangkatnya
di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam
kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang
tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai
oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin)
Tak hanya
sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah banyak
melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau adalah seorang manusia yang paling
mulia di hadapan Allah SWT. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang
berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik tatkala
orang-orang berkata kepada Rasulullah , “Wahai orang yang terbaik di antara
kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak
junjungan kami!” Beliau pun berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ
وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي
فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Wahai
manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan
oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas
kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin
‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An- Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah)
Anas bin
Malik mengisahkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ
بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ
“Rasulullah
biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak
mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i)
Ketawadhu’an
Rasulullah ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat.
Anas bin Malik pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam
pada mereka. Beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Nabi biasa
melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Memberikan
salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi dan diikuti pula oleh para
shahabat beliau. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta
termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan
kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa
dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka. (Syarh
Riyadhish Shalihin)
Pernah pula
Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid zmenuturkan sebuah peristiwa yang memberikan
gambaran ketawadhu’an Nabi serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap
kaum muslimin:
اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ
غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ
عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ
حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ
يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا
“Aku pernah
datang kepada Rasulullah ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai
Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya,
dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah pun mendatangiku,
kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau
mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali
melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim)
Begitu
banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah yang melukiskan
ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat . Tinggallah kembali pada
diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah
hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua
negeri ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia
dan akhirat?
Penulis berasal dari Ponpes Langitan
Posting Komentar