Banyak syubhat di lontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab.
Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah ”Buat apa berjilbab kalau
hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan
dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hati!", lalu
tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya.
Syubhat lainnya lagi adalah ”Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi:
Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat
pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati
kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!." Benarkah
demikian?
Ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al
bawathin fahukmuhu “ala llah’ yang artinya hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang
nampak, adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.
Rasanya tidak ada yang bisa menyangsikan kesucian hati ummahatul mukminin
(istri-istri Rasulullah SAW) begitupula istri-istri
sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik
hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat hijab
turun agar mereka berjilbab dengan sempurna, tak ada satupun riwayat termaktub
mereka menolak perintah Allah Ta’ala. Justru yang kita dapati mereka merobek
tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa
yang ingin anda katakan?
Sedangkan mengenai hadits diatas, banyak diantara saudara kita yang tidak
mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya. Lengkapnya adalah sebagai
berikut:
“Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr radhiyallahu anhu dia berkata,
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh
kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat
hati-hati kalian “(HR. Muslim 2564/33).
Hadits diatas ada sambungannya yaitu pada nomor hadits 34 sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta
kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR.Muslim 2564/34).
Semua adalah seiring dan sejalan, hati dan amal. Apabila hanya hati yang
diutamakan niscaya akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum
muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, berpuasa dibulan
Ramadhan, membayar dzakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta
dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci Mekah atau amal ibadah
lainnya. Tentu para sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah)
cukup mengandalkan hati saja, toh mereka adalah sebaik-baik manusia diatas muka
bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat
beramal tengoklah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya.
Urwah bin Zubair Radhiyallahu anhu misalnya, Ayahnya adalah Zubair bin
Awwam, Ibunya adalah Asma binti Abu Bakar, Kakeknya Urwah adalah Abu Bakar
Ash-Shidik, bibinya adalah Aisyah Radhiyallahu anha istri Rasulullah Shalallahu
alaihi wassalam. Urwah lahir dari nasab dan keturunan yang mulia jangan ditanya
tentang hatinya, ia adalah orang yang paling lembut hatinya toh masih bersusah
payah giat beramal, bersedekah dan ketika shalat ia bagaikan sebatang pohon
yang tegak tidak bergeming karena lamanya ia berdiri ketika shalat.
Aduhai, betapa lalainya kita ini, banyak memanjangkan angan-angan dan harapan
padahal hati kita tentu sangat jauh suci dan mulianya dibandingkan dengan
generasi pendahulu kita. Wallahu’alam bish-shawwab.
Ustdh. Salma
Posting Komentar