Mari sejenak kita renungkan, motivasi apa yang menyatukan
kedua kekuatan besar kaum Anshar dan Muhajirin untuk saling menerima, memberi,
bahkan mempercayai, kemudian menyatukan hati? Padahal keduanya tak saling
kenal. Kaum Anshar pun harus memberikan harta dan tempat tinggal kepada
saudara-saudara baru mereka. Itulah ukhuwah, sebuah kesatuan berlandaskan
aqidah yang menjadi kekuatan motivasi besar. Sebuah hubungan yang melebihi
hubungan darah, bahkan melintasi batas territorial.
Ukurannya pun bukan sekedar hubungan manusia di dunia, yang mengharuskan satu
dengan yang lain mesti saling menghormati dan meng- hargai agar tercapai
kehidupan yang harmonis. Lebih dari itu, Allah SWT menggambarkan hubungan
antara sesama Muslim ibarat satu tubuh. Bahkan bagaimana sikap seorang Muslim
terhadap saudaranya yang lain, menjadi salah satu indikator kesempurnaan iman.
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayangnya bagaikan satu tubuh. Jika
salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka sekujur tubuh akan merasakan kurang
tidur dan panas.” (HR Muttafaqun’alaihi)
Jadi, seorang saudara tidak akan membiarkan saudaranya yang lain dalam
kesusahan, atau cukup merasa aman dengan berkata, “Alhamdulillah, bukan kita
yang terkena musibah.”
Demikian pula tatkala mendapati saudara berbuat zhalim, maka sudah menjadi
kewajiban kita untuk mengingatkannya, bukan sekedar bersyukur, “Yang penting
kita tidak melakukannya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah saudara, baik ia melakukan kezhaliman
ataupun ketika dia dizhalimi.”
Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, saya memang harus menolongnya
ketika dizhalimi, lalu bagaimana jika ia melakukan kezhaliman. Bagaimana saya
harus menolongnya?”
Rasulullah menjawab, “Kamu menghalanginya untuk tidak melakukan zhalim, berarti
kamu telah menolongnya,” (HR Muttafaqun’alaihi)
Ilmu kita tidak ada kecuali sedikit. Masa yang kita lalui sekarang teramat jauh
jaraknya dari masa-masa kejayaan Raulullah. Hingga, tak cukup banyak yang mampu
kita petik dari perjalanan beliau. Bukan karena Nabi tak meninggalkan apa-apa. Tidak. Itu semua semata-mata karena
kejahilan kita.
Gelar boleh berderet, pengalaman segudang, namun tidak sedikit justru itu semua
yang menjadi sekat bagi nurani. Menjadi hijab bagi masuknya hidayah. Nasihat
bukan lagi menjadi kesenangan, malah menjadi su’uzhan (buruk sangka), bahkan
menjatuhkan.
Kalau dalam ukhuwah terjadi perbedaan pendapat, perbedaan karakter, maka itu
semua hal yang wajar. Rasulullah telah me- ngumpulkan sosok-sosok pilihan
dengan karakter-karakter khas yang semuanya diarahkan untuk pengembangan
dakwah. Semua potensi itu diarahkan tanpa melemahkan salah satunya. Semuanya
memiliki keunggulan.
Apakah itu berarti hubungan Rasulullah bersama para sahabatnya berjalan mulus,
adem ayem, bebas dari perselisihan dan perdebatan? Tentu saja tidak.
Umar bin Khaththab adalah sosok yang keras dan tegas. Dia mungkin menjadi salah
satu sahabat yang kritis terhadap Rasulullah. Dan sebagai Rasul, Muhammad tidak
lantas menggunakan otoritasnya menjadi seorang yang ‘tidak bias dibantah’ atau
‘tidak bisa dikritik’. Sungguh, Nabi Muhammad adalah sebaik-baik pemimpin.
Itulah generasi terbaik, di masa Nabi. Kemudian berangsur-angsur kebaikan itu
turun kepada generasi sesudahnya yang masih mengetahui betul bagaimana
perjuangan Islam. Beban, himpitan, dan cobaan telah menggembleng kekuatan ukhuwah mereka. Dan
kita, sekarang ini, hanyalah generasi akhir zaman yang merasakan betapa jauhnya
jarak kita dengan generasi terbaik itu. Lebih parah lagi, kita ini begitu
jahil.
Semangat kita untuk belajar sama sekali tak sebanding dengan semangat para
pendahulu. Motivasi kita pun sudah semakin beraneka ragam. Nurani kita
tersekat-sekat oleh label organisasi jabatan, bendera, dan akhirnya mengurangi
ke-tsiqah-an (keper- cayaan) kita pada salah satu pihak padahal ilmu kita
sendiri tak ada apa-apanya.
Ukhuwah memang membutuhkan kesabaran. Hal ini berkaitan dengan kumpulnya banyak
sifat dan karakter manusia di dalamnya, sehingga membutuhkan kesiapan-kesiapan
luar biasa. Meredam ego, membuka mata dan telinga lebar-lebar, mencoba memahami
latar belakang masing-masing saudara kita, merupakan hal-hal yang mau tidak mau
harus selalu diupayakan.
Hal terpenting yang harus senantiasa diperbaiki adalah meluruskan niat dalam
berukhuwah. Kalau bukan karena mendamba keridhaan-Nya, mungkin kita semua tak
pernah istiqamah meniti terjalnya jalan ini.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
(QS Al-Kahfi: 28)
Ya Allah, hanya karena Engkaulah hati-hati ini berhimpun. Maka kokohkanlah
ikatan-Nya, teguhkanlah dan luruskanlah!
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; ya Tuhan kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hasyr: 10)
Tulus Kurniawati
Posting Komentar