وَساَدِسُ عَشَرَهاَ تَشْبِيْكُ الأَصاَبِعِ وَهُوَ إِدْخاَلُ بَعْضِهاَ فىِ بَعْضٍ , أَمَّا خاَرِجُ الصَّلاَةِ فَإِنْ كاَنَ فىِ المَسْجِدِ مُنْتَظِراً لِلصَّلاَةِ وَلَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ أَيْضاً وَإِلاَّ فَلاَ قاَلَ مُحَمَّدْ حِسْبُ اللهِ إِنَّ التَّشْبِيْكَ يُوْرِثُ النُّعاَسَ
Keenambelas ; Men-Tasybik-kan jari tangan, yaitu memasukkan jari-jari tangan ke sela-sela jari-jari tangan lainnya. Adapun Tasybik yang di lakukan di luar shalat, maka apabila di dalam mesjid untutk menunggu waktu shalat, meski tidak menghadap kiblat maka hal itu juga makruh, dan apabila tidak menunggu waktu shalat maka tidaklah makruh. Syekh Muhammad Hisbullah berkata ; Sesungguhnya Tasybik itu menimbulkan ngantuk.
وَساَبِعُ عَشَرَهاَ تَفَرْقَعُ الأَصاَبِعِ وَالتَّفَرْقَعُ هُو َمَصْدَرُ تَفَرْقَعَ عَلَى وَزْنِ تَدَخْرَجَ , قاَلَ فىِ القاَمُوْسِ فَرْقَعُ الأَصاَبْعِ أَىْ نَفْضِيُهاَ وَضَرْبٌ بِهاَ لِتَصَوُّتٍ
Ketujuhbelas ;
Tafarqo’u yaitu menepukkan jari tangan. Lafadz Tafarqo’u adalah bentuk masdar
Tafarqo’a sesuai dengan pedoman wajan lafadz Tadahroja. Dalam kamus
tertuang, Farqo’u, artinya melemaskan jari tangan lalu menepukkannya agar
bersuara.
وَثاَمِنُ عَشَرَهاَ الإِسْباَلُ وَهُوَ إِرْخاَءُ الإِزاَرِ عَلَى الأَرْضِ
Kedelapanbelas ; Isbaal, yaitu membiarkan ujung kain bagian bawah hingga menyentuh lantai.
وَتاَسِعُ عَشَرَهاَ بَصْقٌ أَماَماً وَيَمِيْناً لاَيَساَراً , لِخَبَرِ الشَّيْخاَنِ إِذاَ كاَنَ أَحَدُكُمْ فىِ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ يُناَجِى رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلاَيَبْزُقُنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلاَعَنْ يَمِيْنِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَساَرِهِ , وَهَذاَ فىِ غَيْرِ المَسْجِدِ أَمَّا فِيْهِ فَيَحْرُمُ إِنْ اتَّصَلَ بِشَيْءٍ مِنْ أَجْزاَئِهِ بَلْ يَبْصِقُ فىِ طَرْفِ ثَوْبِهِ مِنْ جاَنِبِهِ الأَيْساَرِ وَيَلِفُ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ
Kesembilanbelas ; Meludah ke arah depan dan ke sebelah kanan, kecuali ke sebelah kiri. Hal ini karena berdasar hadits Bukhori - Muslim : “Apabila salah satu diantara kalian serdang dalam shalat, maka sungguh dia sedang bermunajat terhadap tuhannya yang Maha mulia nan Maha Agung, oleh karenanya janganl meludah ke depan dan ke sebelah kanan, akan tetapi boleh meludah ke sebelah kiri.”
Boleh meludah ke
sebelah kiri ini ketika shalat yang bukan di mesjid, adapun ketika shalat di
dalam mesjid maka meludah itu di haramkan, apabila sampai mengenai bagian
mesjid. Akan tetapai boleh meludah pada ujung (saku) baju sebelah kiri lalu
melipatkannya.
وَعَشِرُوْهاَ كَفُّ ثَوْبٍ أَوْ شَعْرٍ لِلرَّجُلِ أَىْ مَنْعِهِ مِنَ السُّجُوْدِ مَعَهُ دُوْنَ المَرْأَةِ وَالخُنْثَى بَلْ قَدْ يَجِبُ كَفُّ شَعْرِهِماَ
Keduapuluh ; Menahan baju atau menahan rambut bagi kaum lelaki, artinya menahan baju atau rambut agar tidak terbawa sujud. Kecuali bagi perempuan dan waria, bahkan bagi kaum perempuan dan waria wajib menahan atau menghalangi rambutnya, agar tidak ikut terbawa sujud.
وَلِذَلِكَ قاَلَ القَلْيُوْبىِ ؛ نَعَمْ يَجِبُ كَفُّ شَعْرِ امْرَأَةٍ وَخُنْثَى تَوَقَفَتْ صِحَّةُ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ وَلاَيُكْرَهُ بَقاَؤُهُ مَكْفُوْفاً وَلاَفَرْقَ بَيْنَ الصَّلاَةِ عَلَى الجِناَزَةِ وَغَيْرِهاَ وَلاَبَيْنَ القاَئِمِ وَالقاَعِدِ لِخَبَرٍ ؛ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ وَلاَأَكِفُّ ثَوْباً وَلاَشِعْراً رَواَهُ الشَّيْخاَنِ
Oleh karena demikian itu, Syekh Al-Qolyubiy berkata ; Betul demikian di atas itu, wajib menahan atau menghalangi rambut perempuan dan kaum waria, karena sah shalat mereka membutuhkan gerakan semacam itu. Tidak makruh menngikat baju atau rambut tertahan. Tidak ada bedanya antara shalat jenazah dan shalat lainnya. Juga tidak ada bedanya antara shalat berdiri dan shalat sambil duduk.
Hal ini
berdasarkan hadits : Aku (Nabi SAW) di perintahkan agar bersujud di atas tujuh
pokok anggota badan, dan agar aku tidak menahan baju dan menahan rambut.” (HR.
Bukhori-Muslim)
وَفىِ رِواَيَةٍ أُمِرْتُ أَنْ لاَأَكْفِتُ الشَّعْرَ أَوْ الثِّياَبَ وَأَكْفِتُ بِكَسْرِ الفاَءِ وَبِالتَّاءِ مِنْ باَبِ ضَرَبَ أَىْ أَجْمَعُ , وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ يُصَلِّى وَشِعْرُهُ مَعْقُوْصٌ أَوْمَرْدُوْدٌ تَحْتَ عَماَمَتِهِ أَوْثَوْبِهِ أَوْكَمِهِ مُشْمِرٌ أَىْ مَرْفُوْعٌ , وَيُسَنُّ لِمَنْ رَآهُ كَذَلِكَ وَلَوْ مُصَلِّياً آخَرَ أَنْ يَحِلَّهُ حَدِيْثَ لاَ فِتْنَةَ , نَعَمْ لَوْ باَدَرَ شَخْصٌ وَحَلَّ كَمَّهُ المُشْمِرَ وَكاَنَ فِيْهِ ماَلٌ وَتَلِفَ كاَنَ ضاَمِناً لَهُ , وَمِنْهُ شَدُّ الوَسَطِ فَيُكْرَهُ إِلاَّ لِحاَجَةٍ بِأَنْ كاَنَتْ تُرَى عَوْرَتُهُ بِدُوْنِ الحَزاَمِ
Dalam riwayat lain ; “Aku (Nabi SAW) di perintahkan agar aku tidak menyatukan rambut dan baju (saat sujud hingga sebagian terhalangi). Lafadz “Akfitu” dengan kasrah huruf Fa dan dengan menggunakan huruf Ta, lafadz ini termasuk bab “Dloroba” artinya aku menyatukan.
Dengan demikian,
Ketika shalat hendaknya terlebih dahulu rambut di potong hingga di bawah
sorban, atau sampai bawah baju,, dan juga lengan bajunya di lipat atau di
angkat, (agar tidak terbawa sujud). Disunnahkan bagi orang yang melihatnya,
meskipun dia sendiri dalam shalat agar memberi peringatan, ketika tidak
menimbulkan fitnah.
Betul demikian,
dan apabila seseorang segera dan membuka lengan bajunya yang terangkat, dan
pada lengan baju itu terdapat suatu harta dan rusak karenanya, maka orang
tersebut menanggung atas kerusakannya. Termasuk mengikat bagian pingggang, maka
hal itu makruh kecuali karena dibutuhkan, seperti auratnya akan terlihat
apabila tanpa memakai ikat pinggang.
أَمَّا العَذَبَةُ وَهِىَ طَرْفُ عَماَمَِهِ فَيُكْرَهُ غَرَزُهاَ فىِ عَماَمَتِهِ بَلْ يُسَنُّ إِرْخاَؤُهاَ وَيُكْرَهُ أَيْضاً خاَرِجَ الصَّلاَةِ لَكِنَّهُ فىِ الصَّلاَةِ أَشَدَّ كَراَهَةٍ ِلأَنَّهُ T قاَلَ أَنَّ اللهَ يُكْرِهُ العَماَمَةَ الصَّماَءِ
Adapun ‘Adzabah yaitu ujung atau ekor sorbannya maka makruh melipatkannya kebagian dalam sorbannya, bahkan di sunnahkan melepaskannya keluar. Dan makruh juga hal itu di lakukan di luar shalat.Akan tetapi hal itu di lakukan dalam shalat, sangat makruh, karena Baginda Nabi Saw berkata ; Sesunggunya Allah membenci sorban yang Shoma (memakai sorban tanpa mengeluarkan salah satu ujungnya )
وَحاَدِى عَشَرَيْهاَ وَضْعُ يَدِهِ عَلَى فَمِّهِ بِلاَحاَجَةٍ فَإِنْ كاَنَ لَهاَ كَماَ إِذاَ تَثاَءَبَ فَلاَكَراَهَةَ بَلْ يُسْتَحَبُ لَهُ ذَلِكَ , وَيُسَنُّ أَنْ يَكُوْنَ المَوْضُوْعُ اليَدُ اليُسْرَى وَالأَوْلىَ ظَهْرُهاَ كَماَ أَفْتَى بِذَلِكَ شَيْخُناَ عَبْدُ الغَنِى
Keduapuluh satu ; Meletakkan tangan di atas mulut tanpa ada kebutuhan, dan apa bila karena ada kebutuhan seperti menguap, maka hal itu tidak makruh, bahkan di sunnahkan menutup mulut ketika menguap.
Disunnahkan
adanya tangan untuk menutup mulut adalah dengan menggunakan tangan kiri, dan
yang paling utama adalah dengan punggung tangan kiri. Hal ini sebagaimana fatwa
guru kita Syekh Abdul Gina.
وَثاَنىِ عَشَرَيْهاَ تَلْثِمٌ لِرَجُلٍ وَهُوَ تَغْطِيَّةُ الفَمِّ وَتَنْقِبُ لِغَيْرِهِ وَهُوَ تَغْطِيَّةُ ماَزاَدَ عَلَى الفَمِّ مِنَ الوَجْهِ لِلنَّهْىِ عَنِ الأَوَّلِ , وَقِيْسَ بِهِ الثَّانىِ قاَلَهُ ابْنُ حَجَرٍ فىِ المِنْهَجِ القَوِيْمِ
Keduapuluh dua ;
Taltsiam (menutup sebagian kepala) bagi lelaki, yaitu pertama menutup mulut dan
membalut bagian kepala lainnya (kecuali kedua matanya) yaitu kedua menutup
semua bagian muka kecuali mulut, karena hal ini ada larangan dari yang pertama,
Yang kedua di ukurkan sama dengan yang pertama, demikian pendapat Ibnu Hajar
dalam kitab Minhajul Qowiim.
Sumber: Kitab Kasyifatus
Saja Syekh Nawawi Banten, dikutip oleh Ust. Ahmad Daerobiy
Posting Komentar