Di antara performa–performa (mazhoohir) tindakan ghuluw adalah apa yang kita
saksikan dari perilaku sebagian orang yang melakukan hujatan dan serangan sadis
terhadap mayoritas ulama umat Islam yang berhaluan Asy’ariyyah, Maturidiyyah,
Syiah, Ibadhiyyah dan Shuufiyyah serta mengklaim secara mutlak bahwa seluruh
mereka adalah kafir, syirik, sesat, keluar dari agama dan seterusnya tanpa
terkecuali. Meski demikian, dalam kesempatan ini kami tidak berkehendak ikut
campur dalam menguraikan klaim tersebut beserta maksud, tujuan, perkembangan,
dan sejarahnya, (apalagi memberi penjelasan dengan) rinci tentang madzhab dan
aliran ini.
Sebab hal ini tentu ada tempat dan medan yang spesifik untuknya, yaitu
pembahasan ilmiah dan sisi pandang yang ada untuk kemudian dibahas secara bebas
serta independen.Hal penting bagi kita (di sini) adalah mendukung dan
memantapkan langkah dan usaha memberikan peringatan agar waspada dan tidak
gegabah mengafirkan kelompok ini, madzhab itu, dan madzhab ini, serta (waspada
akan) dampak dari pengafiran ini yang berupa munculnya aksi teror (irhaab) dan
perusakan (ifsaad) di bumi.
Sungguh, aksi teror telah banyak memakan korban nyawa manusia hanya karena
perselisihan ini. Sementara aksi perusakan maka bukti–buktinya bisa disaksikan
dengan nyata yang berupa tindakan anarkis dan penghancuran hingga buku–buku
ilmiah pun tidak selamat dan turut menjadi korban.
Betapa sangat disayangkan ketika ada sebuah kelompok yang senantiasa berjihad
untuk Islam ternyata melakukan pembakaran terhadap kitab–kitab dan ensiklopedi
yang di antaranya adalah Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori milik al Hafizh
Ibnu Hajar hanya karena alasan bahwa penulis berhaluan dan mengikuti jejak Imam
Asy’ari dalam menafsirkan hadits–hadits tentang sifat–sifat-Nya yang terdapat
dalam Shohih Bukhori.
Di sini kami mengatakan, “Sebelum mencela dan mencaci mereka maka wajib bagi
kita semua mengerti sebab yang menjadikan mereka bertindak semacam itu. Jika
sebab diketahui maka hilanglah keheranan. Anda sekalian tidak akan lama
tenggelam dalam keheranan jika Anda sekalian mengetahui bahwa sebagian orang
pandai yang mengaku sebagai pelayan ilmu telah mengeluarkan fatwa dan
memutuskan hukum bahwa Asy’ariyyah adalah kafir.
Fatwa itu kemudian disebarkan dalam tulisan–tulisan ataupun ceramah–ceramah
yang mereka berikan. Inilah sebab langsung dari munculnya dampak–dampak
(negatif tersebut). Orang pandai itulah yang telah membuat dan memproduksi
kunci di pabriknya kemudian menyerahkan kunci tersebut kepada mereka (para pelaku
tindakan teror). Dialah yang menyiapkan dan membuka pintu (tindakan
ghuluw/terorisme).
Akan tetapi, ketika kedua daun pintu telah terbuka lebar, dia berpaling dan
mengatakan, “Sungguh aku berlepas diri dari kalian. Sungguh aku melihat apa
yang tidak kalian lihat.” Akan tetapi, (ini) setelah Khaibar sudah hancur.
Syekh Ibnu Taimiyyah berkata: Dalam fatwa–fatwa al Faqiih Abu Muhammad,
terdapat banyak hal bagus. Aneka permasalahan ditanyakan kepada beliau dan di
sana beliau mengatakan, “Adapun para ulama yang melaknat para Imam Asy’ariyyah,
maka barang siapa yang melaknat mereka maka ia harus dita’zir (diberi hukuman)
dan laknat pasti kembali kepada dirinya sendiri. Barang siapa melaknat
seseorang yang tidak berhak dilaknat maka laknat itu pasti menimpa dirinya
sendiri.
Sungguh ulama adalah penolong agama (anshoorud diin) sementara Asy’ariyyah
adalah penolong dasar–dasar agama (anshoor ushuuliddiin)”.
Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalaam menyebutkan, “Sesungguhnya
Akidah Imam al Asy’ari telah disepakati oleh seluruh pengikut madzhab Syafi’i,
Maliki, Hanafi dan para petinggi madzhab Hambali. Di antaranya adalah guru
besar madzhab Maliki, Syekh Abu Amar bin al Hajib, yang hidup sezaman dengan
Imam Asy’ari serta guru besar madzhab Hanafi, Syekh Jamaluddin al Hushoiri.
Sementara Imam al Khoyaali dalam catatan kaki (Hasyiyah) Syarhul Aqo’id
mengatakan, “Orang–orang madzhab Asy’ari (Asyaa’iroh), mereka adalah ahlu
sunnah wal jamaah.” Di sini kita tidak sedang melakukan studi terhadap madzhab
ini atau aliran itu dengan segala prinsipnya untuk kemudian memberikan
penilaian, tanggapan, dan komentar sebagai hasil akhir dari studi tersebut.
Hal ini ada saat dan tempat, dan tokoh–tokoh di bidangnya sendiri. Karena itu,
wajib atas mereka –sebagai tanggung jawab keilmuan, negara, dan sejarah–
mencurahkan usaha dengan maksimal untuk mewujudkannya sebagai sumbangsih dan
pelayanan kepada riset ilmiah. Di dalam riset tersebut, setiap hal dalam
masalah ini bisa diterima dengan lapang dada dan nalar yang luas terbuka selama
maksud dan tujuan terarah pada menampakkan kebenaran (ihqoqul haqq) dan
menjelaskan kebatilan (ibthoolul baathil) seperti disebut dalam sabda
Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا
حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ“
“Jika hakim memberi keputusan dan berijtihad kemudian tepat (sesuai kebenaran)
maka baginya dua pahala. Jika dia memutuskan hukum lalu berijtihad dan
(ternyata) salah maka baginya satu pahala.” (Muttafaq alaih)
Tentu saja, semua ini harus disertai kesadaran bahwa semua pintu di medan ini
(medan pemikiran, aliran, dan pendapat ) tidak bisa terlepas dari kritik,
sanggahan, dan garis bawah (dari pihak lain). Sebab, terjaga dari kesalahan
(ishmah) hanya berlaku bagi Kitab Allah yang tidak bisa didatangi kebatilan
dari depan maupun belakang, dan berlaku bagi Rasulullah Shollallahu Alaihi
Wasallam yang tidak berkata atas dasar keinginan, melainkan wahyu yang
diwahyukan.
Dalam masalah ini, Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) telah menggariskan satu
standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan.
Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali
pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad
Shollallahu Alaihi Wasallam.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad
bin Alwi Almaliki Alhasani
Posting Komentar