Tiga Pembagian Tauhid sebagai Faktor
Dominan
Di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya
ekstremisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran
tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid
menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari
masa sahabat, tabi’in maupun tabi’it taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format
seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan
dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi
membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang
memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir,
menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid.
Selanjutnya taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat
untuk terus mengeluarkan klaim–klaim dan keputusan seenaknya tanpa didasari
pemikiran dan perenungan.
Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah
Islaamiyyah atau tidak, yang jelas dan sangat disayangkan kini telah menjadi
dasar kuat (dan alat) untuk mengafirkan banyak kelompok Islam. Andai saja yang
menjadi korban dari taqsiim ini hanya sebagian orang, tentu bencana sangat
ringan dan mudah diatasi.
Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam,
pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini
merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam.
Jika kita berniat membersihkan Makkah Madinah –dengan standar pendapat mereka–
dari orang–orang yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan, penyembah para
wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifat-Nya,
tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah.
Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musim agama, berasal
dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan
pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalankan apapun sesuai dengan
prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat
Islam.
(Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah
khilaafiyyah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya
para pelaku kesalahan dan pelanggaran syariat. Para ulama tidak pernah sepakat
(berijma’) mengafirkan para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ
“ Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutukan dan Dia
memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS an
Nisa’: 48)
Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan
penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah), saling mengingatkan,
mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami
(mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip,
“
Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan
rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan,
pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian
tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti
dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.”
Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling
mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain.
Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk
membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi
keinginan kuat setiap muslim. Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus,
memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan
pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi
dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi
pembela.
Sesungguhnya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–saudara kita yang dikenal
dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematkan kemulian dan
keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya.
Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan
maqom ihsan, maqom yang dibanggakan.
Semestinya, setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan
denganNya yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:
…أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ …
“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu
tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim)
Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang
kurikulum kemudian mengoreksi, membenarkan, dan meluruskan sesuai kebenaran,
keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam
perlindungan dan perawatan satu pemerintahan yang melihat semuanya dengan satu
pandangan keadilan.
Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh
hak–hak dan kewajibannya masing–masing. Mereka mendapat kesempatan yang sama,
perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatkan,
“Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.”
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad
bin Alwi Almaliki Alhasani
Posting Komentar