Termasuk contoh dari
berlebih-lebihan dalam beragama adalah banyak kita lihat di dunia Islam para
pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu). Sungguh,
pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan. Beberapa
golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits). Pengakuan
ini pun sangat mulia.
Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang
teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah
pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.
إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ
مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا
كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه
البيهقى في السنن
“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak akan
tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan
Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke
al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy).
Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji. Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan
ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada
dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya. Pendapat dan
fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan
kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.
Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain
mereka. Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan
selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.”
Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka
dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan
julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa
Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.
Misalnya, tuduhan mereka dengan mengatakan kepada orang-orang yang tidak
sependapat dengan mereka dengan sebutan ”perusak! dajjal! ahli bid’ah! Bahkan,
pada akhirnya mereka mengatakan “musyrik, kafir, dan lainnya. Sungguh, sangat
sering kita dengar dari orang-orang yang mengaku berakidah, mereka membabi buta
mengucapkan kata-kata keji di atas.
Bahkan, sebagian dari mereka menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan
mereka dengan berkata,
”Wahai orang yang mengajak kepada kemusyrikan dan kesesatan di zaman ini”.
“Wahai pembaharu agama, Amr bin Luhai!”
Begitulah, sering kita dengar mereka melontarkan hinaan dan ejekan yang tidak
sepantasnya terlontar dari mulut seorang pelajar apalagi dari mulut seorang
ahli ilmu yang seyogyanya memilih cara-cara terbaik dalam berdakwah dan
bersopan santun dalam berdiskusi.
Kemudian setelah itu, mereka mengaku pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sandaran
hukum bagi pendapat mereka, dan mengajak manusia seraya menakut-nakuti mereka
dengan berlindung pada nama besar beliau.
Dalam kesempatan ini akan saya paparkan perkataan Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab yang membebaskan dirinya dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya.
Mereka melakukan segala kehendak mereka dengan berlindung kepada beliau. Mereka
membunuh siapa saja yang mereka kehendaki dengan menggunakan tajamnya pedang
beliau.
Mereka mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar pada fatwa
beliau. Mereka membagi segolongan manusia di surga dan sebagian yang lain di
neraka hanya menurut pendapat mereka.
Al Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam suratnya yang dikirim
kepada orang-orang al Qashim: ”Telah kalian ketahui bahwasanya aku mendengar
Sulaiman bin Suhaim telah mengirim surat kepada kalian. Bahkan, kalangan
orang-orang berilmu di daerah kalian menerima dan membenarkan isi surat itu.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui bahwasannya orang itu (Sulaiman bin Suhaim)
telah berbohong mengatasnamakan aku dalam beberapa perkara yang aku tidak
pernah mengucapkannya. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam hatiku.
Di antara isi surat itu yang dia tulis bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat
madzhab yang ada dan aku berkata, ‘sesungguhnya manusia selama 600 tahun telah
hidup dalam keadaan sia-sia dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid, aku tidak
bertaqlid, dan aku berkata bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah
bencana dan bahwa aku mengafirkan orang-orang yang bertawasul dengan orang
sholeh, dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena dia berkata, ‘Wahai makhluk
termulia!’ Dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah
Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan dan andai
aku mampu, aku akan mengambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang
kayu, dan aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi
Wasallam dan aku mengingkari ziarah kepada kedua orang tua dan lainnya, dan aku
bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala dan aku mengafirkan Ibnu al Faridl
dan Ibnu ‘Arobiy, dan aku membakar kitab Dalailul Khoirot dan kitab Roudur
Royyahin dan menamainya Roudus Syaithan. “
Aku jawab semua masalah ini seraya aku katakan, ”Maha Suci Engkau ya Allah,ini
adalah kedustaan yang besar dan sebelumnya telah ada orang yang mendustakan
Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, juga ada orang yang telah menghina
Isa bin Maryam dan orang-orang sholeh sehingga hati mereka menjadi serupa dalam
kedustaan dan kebohongan.
Allah ta’ala berfirman:
إِِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ
”Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak
beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.”(Q.S. An
Nahl:105)
Mereka semua telah mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam bahwa
para malaikat, Isa, dan Uzair akan masuk neraka.
Maka Allah SWT menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ ِّمنَّا الْحُسْنَى أُولئِكَ عَنْهَا
مُبْعَدُوْنَ
”Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari
kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Q.S. Al Anbiya’: 101)
Surat Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab lainnya:
Surat ini dikirim oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada as Suwaidi,
seorang ulama di Iraq, sebagai jawaban dari surat as Suwaidi kepadanya.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam suratnya berkata: “Sungguh, menyebarkan
kebohongan adalah hal yang memalukan bagi orang yang berakal apalagi mengadakan
kebohongan. Adapun yang Anda katakan bahwasanya aku mengafirkan segenap manusia
kecuali pengikutku sungguh mengherankan. Bagaimana hal ini bisa terpikirkan
oleh orang yang berakal? Apakah pantas seorang muslim berkata demikian?
Adapun yang Anda katakan bahwa aku berkata, ’Andai aku mampu menghancurkan
kubah Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan. Juga
tentang Kitab Dalailul Khairot, bahwa aku melarang untuk bersholawat kepada
Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hal itu semua adalah dusta belaka
dan seorang muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih mulia dari
pada kitab Allah (al Qur’an). ”
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad
bin Alwi Almaliki Alhasani
Posting Komentar