Perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang sangat wajar dalam
kehidupan manusia. Allah Azza wa Jalla telah menganugerahkan setiap insan
dengan kemampuan berpikir yang berbeda-beda. Maka tak mengherankan jika sering
terjadi perbedaan dalam memahami sesuatu, termasuk memahami nash dan dalil yang
berasal dari Al-Qur’an dan Hadits. Perbedaan bukanlah alasan bagi umat islam
untuk berpecah belah, apalagi untuk saling mengkafirkan satu sama lain.
Dewasa ini, sering kita dengar dan saksikan adegan saling mengkafirkan antar sesama muslim. Sungguh sangat tragis dan riskan jika hal ini terus terjadi dalam tubuh kaum muslimin. Salah sedikit dibilang kafir, beda pendapat dibilang kafir, tidak mengikuti ajaranya dibilang kafir.
Takfir (pengkafiran) artinya mencap atau memvonis seseorang bahwa ia telah kafir atau keluar dari Islam. Takfir merupakan bentuk justifikasi yang sangat berbahaya. Sebab vonis kafir yang dilontarkan terhadap seseorang memiliki konsekuensi yang tidak sederhana.
Oleh sebab itu, para ulama sejak dulu hingga hari ini selalu berhati-hati dalam persoalan ini. Tidak boleh seorang muslim tergesa-gesa dalam masalah ini hingga nampak fakta dan dalil yang jelas dan qath’i (pasti).
Dalam syari’at islam sendiri, takfir mendapatkan respon yang
sangat keras. Bahkan karenanya bisa membuat pelaku takfir itu sendiri menjadi
kafir jika dia menjustifikasi orang lain yang belum tentu realiatanya orang
tersebut benar-benar kafir (keluar dari islam). Hal ini sesuai dengan sabda
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
" ﺃَﻳُّﻤَﺎ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺄَﺧِﻴﻪِ : ﻳَﺎ ﻛَﺎﻓِﺮُ، ﻓَﻘَﺪْ
ﺑَﺎﺀَ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ، ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ، ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﺭَﺟَﻌَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
"
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: ‘wahai orang kafir’, maka pengkafiran itu pasti mengenai salah seorang dari mereka, jika benar apa yang ia katakan (maka selesai masalah). Jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. Muslim 1/79).
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid al Atsary hafidzahullah berkata:
“Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena suatu dosa, yang tidak ada dalil apapun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini –yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir-, maka perkaranya kembali kepada Allah Ta’ala, jika Allah berkehendak pasti dia disiksa, dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan manzilah baina manzilatain (dengan maksud ‘dia bukan muslim dan juga bukan kafir’). Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal tersebut dalam banyak haditsnya. "(al wajiz Fiy ‘Aqiydah Assalaf Ash Shalih Ahl As Sunnah wal jama’ah, hal. 122)
Ust. M. Maghfur
Posting Komentar