Pemvonisan kafir terhadap seseorang harus sesuai dengan
syari’at islam. Dalam syari’at islam, seseorang bisa dikatakan kafir jika
memenuhi beberapa syarat berikut ini :
1. Dia melakukan sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan
kecuali dengan tindakan kufur, baik itu berupa keyakinan (seperti mengingkari
Allah Azza wa Jalla sebagai Pencipta alam, mengingkari Nabi dan mendustakanya),
perkataan (seperti berkata bahwa Allah itu tidak ada, atau berkata bahwa ada
Tuhan lain selain Allah), ataupun perbuatan (seperti melakukan sujud kepada
makhluk, menyembah patung, melecehkan Al-Qur’an dan lainya).
2. Dia mengetahui dengan jelas bahwa perbuatanya tersebut bisa
menyebabkan kekafiran.
3. Dia melakukanya dengan sengaja dan tanpa paksaan.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam surat An-Nahl ayat 106 :
ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺇﻳﻤﺎﻧﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺃﻛﺮﻩ ﻭﻗﻠﺒﻪ ﻣﻄﻤﺌﻦ ﺑﺎﻹﻳﻤﺎﻥ
Artinya : barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).
Di sisi lain, ada sebagian golongan yang telah
merekonstruksi makna “kafir” dari maknanya yang syar’i ke makna lughowi (secara
bahasa). Mereka berpendapat bahwa kata “kafir” di dalam Al-Qur’an tidak pernah
didevinisikan sebagai golongan non-muslim akan tetapi kata “kafir” selalu
didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak dan etika yang buruk.
Hal ini jelas
bertentangan dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an itu sendiri dan realita
yang ada bahwa apabila seseorang telah memvonis kafir kepada orang lain, maka
yang dimaksudkan adalah kafir secara syar’i, yaitu keluar dari islam.
Sebagaimana firma Allah Azza wa Jalla yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat
106 di atas.
Pengkafiran (secara syar’i) yang serampangan tanpa adanya
tabayyun terlebh dahulu akan menyebabkan berbagai masalah yang serius. Dengan
memvonis kafir kepada seseorang berarti secara tidak langsung kita telah
menghalalkan darah dan hartanya, yang berarti kita boleh membunuh dan merampas
hartanya, juga membatalkan pernikahannya, dan menghalanginya dari mendapatkan
warisan, serta kalau meninggal dia tidak dimandikan, tidak disholati, dan tidak
dikuburkan secara islami. Selain itu, jika pengkafiran tersebut ditujukan
kepada suatu kelompok yang lebih besar maka akan menyebabkan berbagai kekacauan
dan kerusuhan yang bisa mempecah belah kerukunan umat islam, bahkan nantinya
bisa mengakibatkan saling bunuh-membunuh.
Bahaya yang ditimbulkan oleh sikap takfir tidak bisa
dianggap sebelah mata. Mengingat akan hal tersebut, Sayyid Muhammad Alawi al
-Maliki dalam kitab monumentalnya yang berjudul Mafahim mengawali dengan sebuah
tajuk berjudul "at tahdzir minal mujazafah bit takfir" (mengingatkan
bahaya serampangan vonis kafir) berkata,
“Tidak diperbolehkan melakukan vonis
kafir yang hanya disandarkan kepada perasangka dan peraduga semata tanpa
didasari dengan kepastian, keyakinan, serta pengetahuan. Jika tidak seperti itu
maka akan terjadi salah perspektif yang mana nantinya akan menyebabkan tidak
tersisanya muslimin di bumi ini kecuali sedikit (disebabkan banyaknya muslimin
yang divonis kafir). Sebagaimana halnya dengan tidak diperbolehkannya memvonis
kafir terhadap seseorang yang telah melakukan maksiat sedang orang tersebut
beriman dan berikrar dengan syhadatain."
Di dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat Anas radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺛَﻠَﺎﺙٌ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻞِ ﺍﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥِ : ﺍﻟْﻜَﻒُّ ﻋَﻤَّﻦْ، ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﺎ
ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ، ﻭَﻟَﺎ ﻧُﻜَﻔِّﺮُﻩُ ﺑِﺬَﻧْﺐٍ، ﻭَﻟَﺎ ﻧُﺨْﺮِﺟُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ
ﺑِﻌَﻤَﻞٍ ،
“Tiga perkara yang merupakan dasar keimanan, yaitu
: menahan diri dari orang yang mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illallaah’, dan tidak
mengkafirkanya karena suatu dosa, serta tidak mengeluarkanya dari keislaman
karena subuah amalan. (HR. Abi Dawud 3/18)."
Ust. M. Maghfur
Posting Komentar