Sesungguhnya pergaulan keseharian
memberikan dampak yang signifikan dalam perkembangan kepribadian seseorang.
Entah dampak yang positif ataupun yang negatif. Seseorang yang senantiasa
bergaul dengan orang-orang baik, maka lambat laun kepribadiannya akan menjadi
baik. Demikian sebaliknya, seseorang yang senantiasa bergaul dengan orang-orang
berakhlak buruk, keji dan fasik, maka kepribadiannya menjadi buruk dan lacur.
Namun terkadang perubahan kepribadian sebagai dampak dari pergaulan tidaklah
spontanitas, akan tetapi melalui proses yang lama dan berkesinambungan sehingga
sering kali tidak dirasakan oleh yang bersangkutan.
Bergaul dengan orang-orang baik dan
soleh, akan tertanam di hati kita cinta kepada kebaikan dan tumbuh
semangat untuk berbuat baik seperti mereka. Adapun apabila kita bergaul dengan
orang-orang fasik, maka gemar berbuat fasik dan lacurlah yang akan tertanam dalam
hati kita. Maka dapat disimpulkan, bahwa kepribadian seseorang terprogram
secara otomatis sesuai karakter lingkungan pergaulan.
Dalam kitab ‘Awarif, syeikh Umar
Syahrawardi berkata, “Persahabatan dengan orang-orang baik memberikan dampak
positif yang luar biasa. Sedangkan rasa cinta dan sayang akan memperkokoh
persahabatan tersebut.” Seorang ahli hikmah berpendapat bahwa apabila seseorang
bertemu sahabatnya, maka terjadi pembauran karakter diantara keduannya. Mereka
saling mengisi dan memperkuat kepribadian masing-masing.
Ada sebuah kaidah klasik berbunyi.
“Pandangan kepada sesuatu akan mempengaruhi perilaku pihak yang memandang
sehingga selaras dengan perilaku pihak yang dipandang”. Seperti apabila kita
melihat sesuatu yang mengharukan, maka hati kita terbawa rasa haru lalu menjadi
sedih. Demikian juga apabila kita melihat sesuatu yang menggembirakan, maka di
hati kita akan muncul rasa senang dan gembira.
Seekor unta liar yang tak dapat
dikendalikan akan menjadi patuh dan terkendali apabila dikumpulkan dengan
unta-unta yang telah jinak. Bahkan hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan dan udara
sekalipun berevolusi baik secara fisik maupun karakter sesuai kondisi
lingkungan masing-masing.
Rasulullah SAW bersabda, ”Agama
seseorang tergantung agama orang yang dicintainya (sahabatnya).” Sebuah kalam
bijak menyebutkan bahwa seseorang yang suka bergaul dan berteman dengan orang
yang baik, maka akan dijadikan oleh Allah sebagai orang baik sekalipun
sebelumnya ia adalah orang jahat. Dan seseorang yang suka bergaul dengan orang
fasik, maka ia akan dijadikan sebagai orang yang fasik dan jahat sekalipun
sebelumnya ia adalah orang yang baik.
Dalam sebuah hadits shahih
Rasulullah SAW ditanya salah satu sahabat,” Wahai Rasulullah! Ada seorang
laki-laki mencintai suatu kaum, namun ia bukan termasuk kaum tersebut.”
Rasulullah SAW dengan bijak menjawab, ”Kamu kelak dikumpulkan bersama orang
yang kamu cintai.”
“Quthbul Irsyad” Habib Abdullah bin
Alwi Alhaddad berkata, “Barang siapa senantiasa duduk bersama dan berkumpul
dengan para ulama besar didasari rasa cinta kepada mereka dan keinginan
meneladani budi pekerti dan perilaku mereka yang cenderung mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan menjauhi kemewahan dunia atau sekedar mengharapkan
keberkahan dan doa-doa mereka tanpa adanya niatan untuk meniru perilaku mereka,
maka ia akan mendapatkan kebaikan dan berkah yang melimpah."
Seperti tersebut dalam sebuah
hadits qudsi yang artinya, ”Merekalah (para ulama besar) segolongan orang yang
takkan celaka orang-orang yang duduk berkumpul bersama mereka.” Hanya saja,
kebaikan dan keberkahan mereka takkan didapatkan orang-orang yang berkumpul
dengan mereka dengan niatan agar ia dikenal orang sebagai orang baik karena
sering berkumpul dengan para ulama dan orang soleh, sedangkan ia sendiri
sebenarnya adalah orang yang keji dan dhalim.”
Seorang ulama besar tempo dulu
pernah berkata,” Sesungguhnya prasangka buruk dan rasa cinta yang murni akan
menyatukan orang-orang awam bersama para ulama besar. Dan tidak ada
ibadah selain fardlu yang dilaksanakan seorang hamba yang lebih utama dari rasa
cinta kepada para wali Allah, karena cinta kepada wali Allah adalah pertanda
cintanya kepada Allah.”
Terkadang seorang murid mendapatkan keberkahan dan manfaat yang melimpah dari guru-gurunya sekalipun ia tak mengenal bahkan tak pernah melihat mereka. Hal tersebut dikarenakan rasa cinta yang menggelora, keterikatan yang kuat dan prasangka baik kepada mereka. Sayid Ali bin Abubakar Baalawi berkata,”Seorang murid akan mendapatkan manfaat dari guru-gurunya sekalipun mereka telah meninggal jika ikatan antara murid dan guru sangat kuat di dasari rasa cinta yang murni kepada mereka.”
Al Imam Ali bin Abubakar As-Sakran
berkata,”Para ulama tasawuf sejati yang ikhlas kepada Allah dalam setiap amal
perbuatanya dan senantiasa berusaha menyempurnakan diri dalam meneladani akhlak
Rasulullah SAW adalah para wali pembawa cahaya dan rahasia-rahasia Allah
sekaligus sebagai kholifah di muka bumi. Maka beruntunglah orang-orang yang
mencintai mereka, mendapatkan berkah mereka dan memperoleh doa kebaikan dari
mereka. Apalagi orang-orang yang berusaha berhidmat dan menjadi murid yang
senantiasa menerima dan melaksanakan nasehat-nasehat mereka. Padahal, dengan
memandang wajah mereka saja, rahmat dan keberkahan akan didapatkan.”
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba, barang siapa memandang salah satu
diantara mereka, maka niscaya ia beruntung dan takkan celaka selamanya.”
Sedangkan Syeikh Abubakar bin Salim pernah berkata,”Demikian jika kita
memandang salah satu diantara hamba-hamba pilihan Allah tersebut. Adapun
pandangan mereka kepada kita, maka itu akan menyampaikan kita kepada derajat
yang sangat mulia di sisi-Nya.” Walhasil, dengan mendekati ulama, hidup akan
menjadi penuh berkah.
Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi
Posting Komentar