Bulan April identik dengan peringatan lahirnya seorang
tokoh wanita kelahiran Mayong Jepara, Raden Ajeng Kartini, pelopor gender
equality atau lebih populer disebut emansipasi wanita. Tokoh ini dikenal karena
upaya kerasnya untuk meningkatkan derajat kaum wanita pribumi.
Emansipasi merupakan sebuah usaha yang sangat besar
demi menyetarakan derajat, harkat, dan martabat kaum perempuan dengan kaum
laki-laki. Karena dulu, lebih-lebih zaman kolonialis, sebelum berkembangnya
gerakan emansipasi, kaum wanita adalah kaum yang termarjinalkan. Kerjanya di
rumah mengurusi urusan rumah tangga. Perjuangan RA Kartini ini, salah satunya
diwujudkan melalui tulisan-tulisan dan korespondensinya yang kemudian dicetak
ke dalam buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Sampai hari ini, gerakan emansipasi
masih terus berkembang dan berkelanjutan. Karena, belum sepenuhnya usaha penyetaraan
sampai hari ini, belum sepenuhnya sukses seratus persen. Bagaiman
Islam memandang hal ini?
Mungkin dalam dunia Islam kita sudah
akrab dengan keterangan satu laki-laki sama dengan dua perempuan. Salah satunya
bisa ditemukan dalam bab persaksian. Persaksian seorang laki-laki sebanding
dengan dua perempuan. Perbandingan ini didasarkan dengan keterangan bahwa
perempuan mempunyai akal yang lebih lemah daripada laki-laki. Sehingga apa yang
dilakukannya cenderung didasarkan pada perasaan dan bukan menggunakan logika.
Nabi pernah bersabda:
أَ لَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ
مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ
عَقْلِهَا
Bukankah persaksian wanita itu
seperti setengah persaksian seorang laki-laki? Mereka (para wanita) menjawab,
ya. Rasul berkata, itulah termasuk kekurangan akalnya. (Shahih Bukhari, 9, 142)
Hadits ini menuliskan bahwa persaksian seorang wanita adalah seperti separuh
persaksian laki-laki. Tapi, hal itu tidak bisa menjadi rumusan atau kiasan
untuk semua persaksian ataupun dalam semua kasus. Buktinya dalam kitab-kitab
fiqh, misalnya bab rukyah hilal untuk menentukan Ramadlan diharuskan saksinya
adalah minimal seorang laki-laki, tidak boleh perempuan. Kalaupun satu
laki-laki banding dengan dua perempuan adalah rumus paten, mestinya dalam
rukyah hilal diperbolehkan saksi dua perempuan. Begitupun dalam bab-bab yang
lain.
Dalam al-Qur’an juga menyebutkan:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki adalah penanggung
jawab atas kaum perempuan, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain. Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta-harta
mereka. (QS. An-Nisa’, 34)
Kata qowwam dari ayat di atas dapat
diartikan menguasai. Kaum laki-laki yang mempunyai kuasa atas perempuan.
Perempuan tidak memiliki kuasa kecuali telah diijinkan oleh laki-laki. Hal ini
disebabkan kaum perempuan secara naluriah lebih lemah daripada laki-laki.
Sebagian ulama mengatakan bahwa akal perempuan hanya satu dan nafsunya
sembilan. Sementara akal laki-laki adalah sembilan dan nafsunya cuma satu.
(Tafsir al-Kabir, X, 91-92; al-Kassyaf, I, 523; Tafsir al-Mizan, IV, 351)
Kelebihan laki-laki banyak tertulis dalam teks kitab salaf, terutama dari
tafsiran ayat tersebut. Salah satu contohnya adalah dalam kitab tafsir al-Lubab
yang menerangkan bahwa ada banyak kelebihan laki-laki dibandingkan dengan
wanita dalam pandangan fiqh. Yaitu laki-laki mendapat bagian harta warisan dua
kali lebih banyak daripada perempuan, laki-laki bisa menjadi wali nikah, hak
talak, hak rujuk, intisab anak, dll. (Tafsir al-Lubab Libni ‘Adil, V, 157)
Buletin EL-FAJR Ma’had Qudsiyyah
Kudus Edisi 27
Posting Komentar