Al-Fatihah adalah surat istimewa, selain karena kedudukannya
sebagai pembuka Al-Qur’an,juga dijadikan bacaan wajib pada setiap raka’at
sholat. Al-Fatihah bisa dikatakan sebagai muqodimah dari kitab suci Al-Qur’an. Berapa
kali kita membaca surat Al-Fatihah dalam sehari ?
Mari kita hitung, dalam sehari kita wajib sholat lima kali
dengan total 17 raka’at, berarti dalam sehari kita membaca surat Al-Fatihah
minimal 17 kali, jumlah ini tentu saja bertambah saat kita melaksanakan sholat
sunat. Tiap hari kita membaca Al-Fatihah minimal sebanyak itu, sejak kecil
sampai dewasa. Pasti kita hafal di luar kepala, baik lafaz maupun
terjemahannya. Tapi pernahkah kita sesekali mendalami isi yang tersirat
ketimbang sekedar terjemahan nya ?
Coba kita perhatikan tiga penggal kata yang terkandung di surat Al-Fatihah;
Iyyaaka na’budu (hanya kepada-Mu lah kami mengabdi/menyembah)
Wa iyyaaka nasta’iin (dan hanya kepada-Mu lah kamii mohon pertolongan
Ihdinash shiroothol mustaqiim (tunjukkanlah kami jalan yang lurus)
Ada tiga penggal kalimat yang menggunakan subyek “na” (dari ‘nahnu’; kami). Mungkin
kita sempat iseng berpikir, kalimat dalam surat Al-Fatihah itu hanya cocok
dibaca jika sedang sholat berjama’ah, jika sedang sholat sendirian rasanya menjadi
tidak cocok. Kenapa bacaan kalimatnya tidak di ubah saja menjadi ;
Iyyaaka a’budu (hanya kepada-Mu lah aku
mengabdi/menyembah)
Wa iyyaaka asta’iin (dan hanya kepada-Mu lah aku mohon
pertolongan
Ihdiish shiroothol mustaqiim (tunjukkanlah aku jalan yang
lurus)
Kenapa kok tetap membaca kalimat yang menggunakan subyek
“na” (dari ‘nahnu’; kami), meski pun kita sedang sholat seorang diri ?
Inilah salah satu makna yang tersirat
dalam surat Al-Fatihah (Pembukaan). Surat
Al-Fatihah ternyata menegaskan bahwa seorang muslim adalah makhluk sosial,
bukan makhluk individual.
Seorang muslim dalam keseluruhan gerak hidupnya di tuntut
untuk berperan sebagai makhluk social, ketimbang sebagai makhluk individual.
Sejalan dengan ini, seorang muslim berkewajiban untuk
turut memikirkan dan menangani persoalan masyarakat di lingkungan sosialnya.
Inilah “Deklarasi makhluk Sosial” yang tersirat dalam
surat Al-fatihah.
Bisa saja seorang muslim rajin melaksanakan sholat wajib
dan sunat, rajin mengaji Al-Qur’an, berkali-kali pergi haji, menghindari
perbuatan dosa, pokoknya bisa disebut orang sholeh. Namun sangat disayangkan
masyarakat disekitarnya masih dilanda kemungkaran, kemiskinan, kebodohan dan
tata sosial yang masih bobrok. Jika si muslim sholeh ini tak peduli dengan
kondisi masyarakat ini, dan tidak melakukan apa pun untuk membantu
menanganinya, bisa dikatakan dia seorang muslim yang egois.
Dia hanya memikirkan kesholehan dirinya sendiri dihadapan
Alloh, tapi tidak memperdulikan berbagai faktor yang menjadi penyebab ke tidak
sholehan pada masyarakat sekitarnya.
Dengan demikian sikap dan perilaku seorang muslim yang
anti sosial, bisa dikatakan bertentangan dengan nafas surat Al-Fatihah. Na’udzu
billah tsumma na’udzu billah.
M. Syafi’i
Posting Komentar