Saya sering mendengar orang-orang bercerita bahwa laki-laki
yang paling romantis adalah laki-laki bule. Saya mendapati bahwa ucapan itu
tidak lah sepenuhnya benar.
Semasa saya belajar di Tarim , Hadramaut, Yaman, saya banyak
mengenal muslimah dari Amerika, Australia, Eropa bahkan Afrika. Dan kebanyakan mereka tinggal di Tarim untuk
memperdalam islam bersama dengan suami dan anak-anak mereka .
Dari sekian banyak suami-suami teman saya itu, saya
perhatikan yang paling romatis adalah suami Khadijah. Ia bukan bule karena
tidak berasal dari negara Barat, melainkan dari Baidho, sebuay daerah yang
berada di utara Yaman.
Suatu hari saat sedang berbincang santai, saya berkata
kepadanya, "Kamu beruntung Khadijah, suamimu itu sangat lembut
danmemuliakanmu, Aku rasa suamimu adalah suami paling romantis yang
kukenal."
Khadijah tersenyum dan menjawab, "Iya, dia memang
lelaki yang sangat baik akhlaknya. Aku beruntung menikah dengannnya?"
"Semoga jika menikah nanti, Allah memberiku suami
seperti suamimu itu," ujarku, mengomentari pujiannya.
Mendengar itu kulihat wajah Khadijah berubah ekspresi. Dia
lalu berkata, 'Untung saja waktu itu aku tidakmemutuskan sesuatu yang berbeda."
"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.
Wanita Arab berkulit sawo matang itu menghembuskan nafas
panjang, lalu bercerita, "Kami menikah dua tahun, bulan-bulan pertama
pernikahan semuanya berjalan indah. Dia seperti yang kamu lihat seakarang ini,
sangat lemah lembut danmenghargaiku. Kami hidup sederhana, menempati sebuah
rumah kecil pemberian orang tuanya, Dia bekerja sepanjang hari dan kembali
sebelum maghrib, kami lalu sholat berjamaah membaca Al Quran, Sholat isya, lalu
makan malam. Ia adalah imam yang sempurna. Aku beruntung mendapatkannya.
'Bulan demi bulan berlalu dan ujian itu kemudian datang.
Suatu hari ia pulang larut malam. Akumenunggunya dengan gelisah karena khawatir
terjadi sesuatu yang tak diinginkan, Sepanjang malam aku berdoa agar dia pulang
dengan selamat.
"Lewat tengah malam aku mendengar suara pintu dibuka,
akupun segera menuju ke ruang depan. namun alangkah sangat terkejutnya aku
mendapati dia jatuh pingsan di pintu dalam keadaan mabuk.
"Aku seret dia menuju kamar. Dengan sekuat tenaga kubaringkan
dia di tempat tidur. Kucoba bangunkan dia namun dia benar-benar tidak sadarkan
diri. melihat keadaannya, akubenar-benar
sedih dan kecewa. Bagaimana seorang
laki-laki yang begitu kukagumi dan kucintai, kudapati mabuk seperti ini?"
Khadijah terdiam sejenak. Disusutnya airmata yang tergenang
di pelupuk matanya, ia memandang saya dan berkata,"Aku tidak tahu
bagaimana di negaramu Halimah, Tapi di negeriku, jangankan mabuk, merokok saja
sudah dianggap sebagai tindak kriminal bagi laki-laki. Jadi dapat kau bayangkan
seperti apa kesedihanku malam itu. Aku menangis di samping suamiku yang
terbaring dalam kondisi yang menyedihkan.
Bajunya kotor, rambutnya awut-awutan, dan baunya menusuk
hidung. Saat azan subuh terdengar, aku kembali berusaha membangunkannya dan dia
sama sekali tidak bergerak. Aku benar-benar lelah dan tertidur di tempat
sholatku setelah melaksanakan sholat subuh sendirian. Aku terbangun ketika mendengar suara seseorang di kamar
mandi. Kulihat jam menunjukan pukul sembilan pagi. Dia ternyata sudah bangun dan tengah mandi,
Aku tunggu dia sampai keluar mandi, menqodho sholat subuhnya yang tertinggal,
kemudian aku mengajaknya bicara. Dia terlihat enggan mendengar penuturanku.
Sesekali dia menganggukkan kepala ketika kukatakan agar jangan sesekali dia
melakukan hal itu lagi."
"Aku kira itu adalah malam paling kelam dalam
hidupku. Namun nyatanya itua dalah awal
dari malam-malam panjang penuh kesuraman.
Terkadang ia tidak pulang hingga berhari-hari, dan jika pulang , pasti
dalam keadaan mabuk. Aku hanya
dapatmenangis setiap kali melihatnya begitu.
Aku kehilangan suamiku yang selama ini melindungiku, menghargai, dan
menyayangiku.
"Usahaku bangkrut, aku ditipu, dan tidak tahu bagaimana
harus menyelesaikan hutang-hutangku. Sedikit sisa harta yang ku punya kupikir
akan berlipat ganda dengan cara aku judikan. Ternyata aku malah semakin jatuh.
Hingga mmebuatku tidak lagi bisa berfikir wajar, Akupun minum khmer berusaha
melupakan masalahku, Namun kala sadar, aku kembali tak mampu menghadapinya,
sehingga aku kembali berjudi dan mabuk lagi," begitu ceritanya ketika aku
tanyakan penyebabnya.
"Dengan linangan air mata ku katakan kepadanya, "
Rumah tangga ini adalah rumah tangga kita, kesulitanmu adalah kesulitanku juga,
kita dapat mengatasinya bersama."
"Namun ia menjawab, "engkau adalah istriku,
dan menafkahimu adalah urusanku. Doakan saja aku agar segera mendapatkan rizki
yang membuatku dapat melunasi hutang-hutangku".
"Percakapan yang bermutu itu sejenak meyakinkanku bahwa
dia masihlah suamiku yang menikahiku dua tahun yang lalu. Namun malam harinya
aku kembali tak mengenalinya ketika ia kembali mabuk dan pulang dalam keadaan
tidak sadarkan diri. barang-barnag yang ada di rumah mulaihabis dijual satu
demi satu. Bahkan perhiasan pemberiannya di hari pernikahan pun terpaksa
akujual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Dipuncak kecewaku, aku memutuskan untuk mendatangi
seorang ulama di kampungku. Sesudah aku ceritakan kisahku dia memberiku
pilihan, 'Dalam keadaan seperti ini sudah boleh bagi seorang istri untuk
menuntut cerai kepada suaminya karena dia tidakmampu lagi melaksanakan tugasnya
sebagai pemberi nafkah, namun jika kamu mau bersabar itu lebih baik.'
"Dan aku tidak memilih keduanya, Aku memilih
mengendalikan keadaan. Sebab kurasa aku belum maksimal berikhtiar,"
"Maksudmu?" tanya saya tak sabaran.
"Aku memilih untuk bekerja," jawabnya.
"Bekerja?" Saya tidak dapat menyembunyikan
keterkejutan karena saya paham betul, di negeri tempatnya tinggal, takmudah
menemukan pekerjaan untuk wanita.
"Aku menjual roti Arab yang segede-gede nampah itu
untuk aku jual kepada beberapa rumah makan.
Dan Alhamdulilah, usaha ini cukup berjalan baik dan dapat memenuhi
kebutuhan harian kami. Namun suamiku
seringkali meminta uang itu dengan dalih berhutang. Dan ketika aku menolaknya, ia akan marah dan
berusaha memecahkan barang-barang di rumah kami. Aku yang tidak mau kalau
sampai tetangga tahu permasalahan dalam rumah tangga kami pun segera memberikan
uang itu kepadanya.
"Keadaan berlanjut hingga berbulan-bulan lamanya. dan
tak kutemukan titik terang. Kini suamiku benar-benar menjadi makhluk asing."
"Aku kembali menjumpai beberapa ulama untuk meminta
nasehat. dan mereka kembali memberikan kepadaku pilihan yang sama, "Sabar
atau silahkan bercerai."
"Namun seorang diantara mereka berkata,
"Bagaimanapun ini ujian dalam pernikahanmu. untuk kamu memilih bersabar
atau mengakhirinya, di dunia ini memang berisi soal-soal yangharus kamu hadapi,
dan Allah adalah Sang jurinya."
"Ucapan ulama yang satu ini membuatku berpikir keras. Bahwa
tak akan ada yang sia-sia sesudah perjalanan panjang ini. Hanya saja aku belum
memaksimalkan usaha.
'Betul usahaku untuk bekerja memang sudah aku lakukan dan
membuahkan hasil. Namun usahaku untukmeminta kepada Allah Sang Penggerak Hati
sepertinya belumlah maksimal. Maka mulai malam itu aku memutuskan akan mulai
mengerjakan tahajud dan berdoa pada sepertiga malam yang terakhir karena pernah
kudengar bahwa doa di waktu tersebut lebih didengar Allah.
"Aku bangun di sepertiga malam untuk sholat dan berdoa
"YaAllah.telah Kau satukan aku dan suamiku dalam maghligai pernikahan.
Sayangilah dia ya Allah..kembalikan dia di jalanMu. Aku menyayanginya dan tak
mampu kubayangkan dia dalam murka dan siksa-Mu jika tetap seperti itu. Pertemukan ia dengan seseorang yang dapat
mengembalikannya ke jalanMu ya Allah." kurang lebih begitulah aku berdoa
setiap malam.
"dan doamu di ijabah?" tanyaku kembali tidak
sabaran.
"Tidak juga. Suamiku malah menghilang, kabur, tiga bulan tak pulang-pulang. Dan hal itu membuat keluargaku dan keluarganya mengetahui
masalah kami, meskipun semua nya
membelaku.
"Ibunya berkata, "maafkan kamu, Khadijah kami
tidak tahu kelakuannya seperti ini. Jika saja kami tahu dari sebelumnya, kami
tidak akan menikahkannya denganmu. Kalau
kelak ia akembali, kami akan memintanya menceraikanmu dengan baik-baik. wanita
sepertimu tidak patut dizalimi seperti ini."
"Namun aku katakan di hadapannya, "dia sebenarnya
seorang lelaki soleh, hanya saja saat ini dia sedang terfitnah dan terkalahkan
oleh keadaan. Saya yakin ia akan kembali
ke jalan yang benar" Lantas ibu mertuaku ini memelukku dengan linangan air
mata dan terus-terusan berujar "maafkan aku".
"Setelah keluarga besar kami mengetahui
permasalahannya, mereka bersatu padu melunasi hutang-hutangnya. Suamiku , sebelum masa sulit ini adalah
seorang yang ringan tangan, selalu membantu jika ada keluarga atau sahabat yang
kesulitan. Barangkali itu juga yang
membuat mereka tidak segan-segan membantunya.
meskipun mereka semua tidak tahu dimana keberadaannya pada saat itu.
'Ya minggu berganti bulan, dan hilal berganti purnama telah
tiga kali berulang, suamiku tak juga datang.
"Apa yang membuatmu tak menyerah dan terus
mendoakannya, wahai Khadijah?" saya bertanya lagi, karena kagum dengan
kegigihannya, Dan jawabannya sangatlah indah.
"Karena aku yakin malam takala telah sangat pekat,
pertanda fajar akan sebentar lagi terbit.
Aku tak mau menyerah di saat jalankeluar telah berada di ujung
mata"
"dan fajarmu benar-benar terbit?" tanya saya lagi.
"Ya aku ingat betul malam itu. Aku sudah tertidur ketika kurasakan tangan seseorang menyentuh kakiku. Aku tersentak kaget dan
mendapati dia duduk di sisi tempat tidur sambil menunduk. Kulitnya lebih hitam, cambang dan kumisnya
tak lagi terurus, bahkan rambutnya sudah terlewat beberapa minggu dari waktu
seharusnya bercukur. Ia menoleh padaku, saat itulah aku tahu ia telah kembali.
Aku lihat tatap matanya berbeda dari waktu terakhir kujumpai dulu. Kali ini
tatapannya redup dan teduh seperti kala aku menikah dengannya dulu.
"Kamu masih istriku bukan?" Tanyanya ragu.
"Tentu saja" jawabku. "Bukankah hanya kamu
yang punya hak untuk menceraikan?"
"Maksudku apa kamu masih mau menjadi istriku?"
tanyanya menegaskan.
"Aku memandang wajahnya, kutatap matanya dan dia bals
menatap mataku. Aku lalu mengangguk. Ia memelukku cukup lama dan berbisik di
telingaku, "Terima kasih telah mau menungguku, dan maafkan aku"
"Tangis kami berdua pecah bersama pelukan.
"Jika kamu masih mau menjadi istriku, maukah kamu ikut
denganku menuju seseorang yang kurasa dapat membimbing kita?"
"Siapa?" tanyaku tak sabaran.
"Habib Umar bin Hafidz di Tarim Hadramaut sana. Aku
sudah berjumpa dengannya dan tinggal di pondok pesantrennya beberapa hari.
Aku benar-benar bahagia di sana. Aku pun sudah menyampaikan padanya bahwa aku
ingin tinggal disana bersama istriku, namun aku tidak punya cukup uang untuk
membiayai kehidupan. Dan habib Umar bilang, "Bawalah istrimu kemari
dan kamu bisa membiayai hidup kalian dengan bekerja padaku sebagai tukang
roti."
"Mendengar itu air mataku tumpah lebih deras, namun
kali ini bukan air mata kesedihan melainkan airmata kesyukuran. Doa ku telah
didengar Allah.
"Malam itu juga kami segera bersiap-siap. Dan tanpa
membuang waktu, pagi hari kami sudah berkendara. Kami menyewa sebuah mobil
tanpa AC menempuh perjalanan berbelas-belas jam. Namun sungguh itu adalah
perjalanan paling meneduhkan dan menenangkan sebab hati kami sejuk dan jiwa
kami damai.
"Beberapa hari aku ajarkan suamiku membuat roti di
rumah sewaan kami yang kecil, kemudian ia mulai bekerja di dapur Habib Umar
sebagai tukang roti.
"Dan ya seperti yang kamu lihat, Halimah. Suamiku
adalah seorang imam rumah tangga yang sempurna. Ia begitu menghargai dan
menyayangi ku."
Ucapnya mengakhiri kisah panjang perjuangannya. Meninggalkan
aku yang masih terkesima dengan kisah indahnya. Hari itu aku belajar
untuktidakmenyerah kala ujian kehidupan menghadang. Tak Ada maslah besar selagi
Allah yang Maha besar kau libatkan.
Cerita ustadzah Halimah Alaydrus ini terdapat dalam buku beliau yang
berjudul "Muhasabah Cinta" halam 105- 117
Posting Komentar