Dalam persoalan bolehkah mengambil upah dari mengajarkan
ilmu agama, disebutkan khilafiyah antara yang melarang (minoritas ulama) dan
membolehkan (mayoritas ulama). Jika kita menelusuri qoul-qoul mengenai
khilafiyah untuk memecahkan soal masa kini, kita perlu perspektif yang jeli.
Biasanya kita mengutip pendapat dahulu dengan meletakkan kata bayaran secara
generik, sehingga terkesan bahwa pendapat yang melarang hanya menekankan aspek
moral (keikhlasan) dan yang membolehkan hanya menekankan adanya nash yang
membolehkan ( ﻥَّ ﺃَﺣَﻖَّ ﻣَﺎ ﺃَﺧَﺬْﺗُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺟْﺮًﺍ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ) dan
tidak adanya nash khusus yang melarang.
( ﺍﻝ ﺍﺑﻦُ ﺣﺰﻡٍ ـ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ـ : « ﻭﺍﻹﺟﺎﺭﺓُ
ﺟﺎﺋﺰﺓٌ ﻋﻠﻰ ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻭﻋﻠﻰ ﺗﻌﻠﻴﻢِ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣُﺸﺎﻫَﺮﺓً ﻭﺟﻤﻠﺔً، ﻭﻛُﻞُّ ﺫﻟﻚ ﺟﺎﺋﺰٌ، ﻭﻋﻠﻰ
ﺍﻟﺮُّﻗَﻰ، ﻭﻋﻠﻰ ﻧﺴﺦِ ﺍﻟﻤَﺼﺎﺣﻒ، ﻭﻧﺴﺦِ ﻛُﺘُﺐِ ﺍﻟﻌﻠﻢ؛ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺄﺕِ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻧﺺٌّ،
ﺑﻞ ﻗﺪ ﺟﺎﺀَﺕِ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔُ »).
Sebetulnya para ulama tidak membahas term bayaran secara
generik, mereka membedakan antara "rizq" yang didefinisikan sebagai
bagian harta yang diambil dari dana umat (baytul maal) dan "ajr" yang
didefinisikan sebagai pembayaran sepantasnya dari suatu jasa yang ditentukan
oleh pasar alias keseimbangan antara permintaan dan penawaran.
Dalam "Al
Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah" (pada sub judul "Upah untuk Imam
Sholat" namun sangat relevan karena serupa kasusnya) disebutkan pembedaan
tersebut, dimana ulama telah ijmak bahwa menerima dana dari baytul maal adalah
boleh sementara khilafiyah boleh atau tidak boleh terjadi jika yang dimaksudkan
adalah 'ajr atau upah (yang mana merupakan hasil dari mekanisme pasar).
[ ﺫﻫﺐ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ : - ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ، ﻭﺍﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ
- ﺇﻟﻰ ﻋﺪﻡ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻻﺳﺘﺌﺠﺎﺭ ﻹﻣﺎﻣﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ، ﻷﻧﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺨﺘﺺ ﻓﺎﻋﻠﻬﺎ ﺑﻜﻮﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﻘﺮﺑﺔ ، ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻻﺳﺘﺌﺠﺎﺭ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻛﻨﻈﺎﺋﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﻭﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ، ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ
ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : « ﺍﻗﺮﺀﻭﺍ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮﺍ ﺑﻪ » . ﻭﻷﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻳﺼﻠﻲ ﻟﻨﻔﺴﻪ ، ﻓﻤﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻗﺘﺪﻯ
ﺑﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ، ﻭﺇﻥ ﺗﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﻧﻴﺘﻪ ﺷﻲﺀ ﻓﻬﻮ ﺇﺣﺮﺍﺯ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ، ﻭﻫﺬﻩ ﻓﺎﺋﺪﺓ
ﺗﺨﺘﺺ ﺑﻪ . ﻭﻷﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻌﻤﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺑﺎﺕ ﻭﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ ﻋﺎﻣﻞ ﻟﻨﻔﺴﻪ ، ﻗﺎﻝ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ
: } ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﻓﻠﻨﻔﺴﻪ { ، ﻭﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺍﻷﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ .
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ : ﺟﺎﺯ ﺃﺧﺬ ﺍﻷﺟﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﻭﺣﺪﻩ ﺃﻭ ﻣﻊ ﺻﻼﺓ ، ﻭﻛﺮﻩ
ﺍﻷﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺣﺪﻫﺎ ، ﻓﺮﺿﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﻧﻔﻼ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﻠﻴﻦ .
ﻭﺍﻟﻤﻔﺘﻰ ﺑﻪ ﻋﻨﺪ ﻣﺘﺄﺧﺮﻱ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻻﺳﺘﺌﺠﺎﺭ ﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﻟﻔﻘﻪ
ﻭﺍﻹﻣﺎﻣﺔ ﻭﺍﻷﺫﺍﻥ ، ﻭﻳﺠﺒﺮ ﺍﻟﻤﺴﺘﺄﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﺩﻓﻊ ﺍﻟﻤﺴﻤﻰ ﺑﺎﻟﻌﻘﺪ ﺃﻭ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﻤﺜﻞ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﺗﺬﻛﺮ ﻣﺪﺓ
.
ﻭﺍﺳﺘﺪﻟﻮﺍ ﻟﻠﺠﻮﺍﺯ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ، ﻭﻫﻲ ﺧﺸﻴﺔ ﺿﻴﺎﻉ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻈﻬﻮﺭ ﺍﻟﺘﻮﺍﻧﻲ
ﻓﻲ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﻴﻮﻡ . ﻭﻫﺬﺍ ﻛﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﺟﺮ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﺯﻕ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ
ﻳﺘﻌﺪﻯ ﻧﻔﻌﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ، ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻣﺤﺔ ، ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻹﺟﺎﺭﺓ ﻓﺈﻧﻬﺎ
ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻤﻌﺎﻭﺿﺔ ، ﻭﻷﻥ ﺑﻴﺖ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺑﺬﻟﻪ ﻟﻤﻦ ﻳﺘﻌﺪﻯ ﻧﻔﻌﻪ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ، ﻭﻛﺎﻥ ﻟﻶﺧﺬ ﺃﺧﺬﻩ ، ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺟﺮﻯ ﻣﺠﺮﻯ ﺍﻟﻮﻗﻒ
ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ .]
Meski tidak dibahas lebih dalam lagi di sana, barangkali
kita bisa menyimpulkan lebih jauh: secara normatif dalam pengelolaan umat
islam, jasa-jasa yang dibutuhkan oleh publik umat secara merata harus dikelola
oleh institusi umat dan uang jasa yang diberikan oleh umat pada
pengajar-pengajar tersebut adalah pengganti uang lelah (hal ini tak perlu
dibenturkan dengan desain insentif untuk meningkatkan kualitas pengajar sebab
itu bisa diatur dengan kebijakan tanpa melalui mekanisme pasar), sementara itu
mengenai "jasa" mengajarkan agama secara privat yang diluar public
service obligation sebagaimana pendapat mayoritas adalah tidak haram tapi
berbahaya jika dijadikan norma utama dalam umat.
Menjadikan aktivitas
mengajarkan agama kepada umat sebagai produk dalam market yang ditentukan oleh
permintaan dan penawaran pasar berpotensi melahirkan "pengajar-pengajar
agama yang palsu", "peningkatan kualitas kemasan produk tapi
penurunan kualitas esensi isi produk" dan "kompetisi perebutan pangsa
pasar yang merusak keikhlasan".
Berikut beberapa konsekuensi dari menyerahkan aktivitas
perdakwahan kepada pasar:
1. Permintaan yang tinggi berdasarkan selera publik yang
seringkali dangkal (berbanding jika institusi politik umat yang mengatur akan mengarahkan
dan mendidik selera publik) mengakibatkan "harga" pasar yang tidak
rasional (mewajarkan bayaran puluhan juta sekali manggung dengan membandingkan
ceramah agama dengan bayaran motivator misalnya).
2. Cara-cara merebut pangsa
pasar dengan marketing sekuler, misal memanipulasi endorsement dari tokoh umat
(memasang foto sebagai endorsement), marketing masif juga berdampak pada
pengutipan bayaran yang besar sebab biaya marketing memiliki porsi 20-40% dari
harga yang harus dibayar konsumen menurut kelaziman dalam dunia dagang, sampai
yang tersembunyi misal perasaan megalomania dari seorang da'i yang ghurur
merasa besar karena banyak pengikut (konsumen)
3. Konflik antara da'i bukan
semata beda pendapat tapi ada unsur hasad tersembunyi karena beda pendapatan.
Para da'i, ulama dan mubaligh juga manusia, hal ini melampui
moralitas individu (sebab daya tahannya terhadap godaan beda-beda dan punya
batas pada akhirnya) dan merupakan PR keumatan yang harus diselesaikan oleh
institusi umat bersama-sama. Di antaranya adalah menjadikan berbagai sumber
dana umat islam baik waqaf, infak, zakat dan sedekah sebagai milik umat yang
terpisah dari institusi negara terutama jika secara substansi institusi negara
dan institusi umat itu terpisah saat ini, walaupun orang dapat mengutip dalil
secara kasar untuk menganggapnya sama, biasanya untuk kepentingan penguasa atau
individu si pengutip. Teorinya, dengan memisahkan dana umat untuk umat saja,
PR-PR tadi masih mungkin untuk diperbaiki. Tanpa menuduh satu persatu, bukankah
kita sudah pernah menyaksikan skandal integritas dan etis dari tokoh-tokoh
agama, dan potensi ke depan masih akan terus terjadi dan ini bisa meruntuhkan
kewibawaan agama.
Ust. Priyo Jatmiko
Posting Komentar