Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary berkata, "Manakala
anda terjerumus dalam dosa, janganlah kenyataan itu membuatmu putus asa dalam
meraih Istiqomahmu dengan Tuhanmu. Kadang-kadang, – siapa tahu – itulah akhir
dosa yang ditakdirkan oleh Allah padamu.”
Jadikan keterjerumusan itu sebagai pintu taubat dan inabah demi beharap
kepada Allah Ta’ala, sekaligus sebagai pintu khauf (rasa takut) kepadaNya.
Sebab putus asa terhadap rahmat Allah itu bentuk tipudaya yang gelap, bahkan
syetan harus berputus asa karena tidak mampu memperdayai anda dibalik tindakan
dosa itu.
Imam Al-Ghazaly ra, menegaskan, “Sebagaimana dosa merebut anda, dan kembali
kepada dosa sebagai aktivitas anda, maka jadikanlah taubat dan kembali
kepadaNya sebagai aktivitas. Karena orang yang beristighfar tidak akan
mengulang-ulang dosanya, walau ia mengulang tujuhpuluh kali setiap harinya.”
Kita bisa mengambil pelajaran dari Fir’aun, yang dosanya benar-benar
memuncak dan paling besar, toh Allah Ta’ala masih memerintahkan kepada
Nabi Musa as dan Nabi Harun as, “Katakan padanya dengan kata-kata yang
lembut, siapa tahu ia bisa tersadarkan atau ia memiliki rasa gentar dan takut
(Kepada Allah SWT).” (Thaha 44)
Betapa banyak orang yang kembali bertobat dan menjadi Istiqomah gara-gara
perbuatan dosanya, dan sebaliknya betapa banyak orang yang akhirnya malah
maksiat gara-gara ibadahnya, dimana ia bangga dengan prestasi amal ibadah, lalu
takjub pada diri sendiri, kemudian riya’ dan takabur.
Optimisme pada rahmat dan anugerah Allah Ta’ala harus menjadi titik utama ke
depan. Karena bila manusia bertaubat dengan taubatan Nasuha, malah seluruh
dosanya diampuni.
Tetapi jangan sampai manusia meremehkan perbuatan dosa dengan beralibi,
“Allah Maha Ampun, atau ampunan Allah lebih besar dibanding dosanya, atau apa
artinya dosaku kalau dibanding rahmat Allah….” dst. Yang menggiring seseorang
terbelit dosa terus menerus.
Pandangan Ibnu Athaillah untuk mengingatkan kita agar kita tidak putus asa pada
RahmatNya, bahkan dalam kondisi terpuruk oleh dosa sekali pun.
Allah SWT, justru menghampiri kepada para pendosa agar kembali kepadaNya,
karena dibalik “kembali” itu ada “cinta” yang begitu agung dariNya. Cinta itu
sangat luhur dan besar nilainya disbanding apa pun. “Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang taubat.” Begitu ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Bahkan di awal kitab Al-Hikam ini disebutkan, “Tanda-tanda manusia
bergantung dan mengandalkan amalnya, adalah kehilangan harapan (terhadap rahmat
Allah) ketika berbuat dosa.”
Rasa kehilangan akan harapan ampunan dan rahmat adalah bentuk pesimisme yang
berbahaya, karena pada saat yang sama seseorang tidak menggantungkan diri pada
Sang Pencipta Amal, malah menggantungkan pada amal itu sendiri yang diklaim
sebagai perbuatannya.
Padahal amal baik tidak menjamin seseorang masuk syurga, dan amal buruk
tidak otomatis seseorang pasti masuk neraka. Masuk neraka itu semata karena
keadilan Allah, dan masuk syurga karena rahmat dan ridhoNya.
Bila anda meraih rahmat dan ridhoNya, maka taat dan kepatuhan anda sebagai
tanda memang anda ditakdirkan masuk syurga. Sedangkan bagi mereka yang
mendapat keadilan Allah SWT, (na’udzubillahi min dzaalik) seseorang ditandai
dengan berbuat maksiat dan menuruti nafsunya belaka di dunia.
Sufinews dari Kitab Al Hikam
Posting Komentar