Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary mengatakan, “Semesta ciptaan ini ada
karena ketetapan dariNya, dan terhapus oleh Kemaha-Esaan DzatNya.”
Syeikh Zarruq mengatakan, “Bila anda memandang makhluk dari dimensi
penetapan oleh Allah Ta’ala pada mereka, maka anda melihat makhluk sebagai
wujud.
Namun bila anda melihat mereka dari segi bahwa mereka adalah makhluk yang
sangat butuh, sangat kurang dan tidak merdeka, maka anda telah memandang mereka
sebagai wujud ketiadaan.
Dalam kitabnya At-Tanwir, Ibnu Athaillah menegaskan, “Ulasan yang rinci
dalam konteks ini adalah, bahwa makhluk itu memang ada, dan dari segi yang
tersembunyi dibalik makhluk menimbulkan musyahadah kepadaNya. Kemudian Allah SWT
menetapkan makhluk dari sisi yang ditetapkanNya melalui hikmah-hikmahNya, dan
hikmah-hikmah itu tidak bersandar pada pengetahuan anda.”
Inilah fakta yang dimaksudkan sekaligus intisari ma’rifat dalam menjaga kenyataan
dunia sebab akibat. Dan hanya pada Allah segala Taufiq. Ini berarti, akan
mengarahkan kita pada etika atau adab memandang makhluk, bahwa apa pun, harus
dikembalikan kepada Allah Ta’ala. Dan
ketika memandang diri kita, pasti yang tampak adalah wujud serba cacat, kurang
dan penuh cela.
Sehingga Ibnu Athaillah melanjutkan, “Manusia memuji anda karena asumsi dugaan
yang ada pada diri anda. Maka bersikaplah mencaci diri sendiri, karena anda
tahu siapa diri anda sebenarnya.”
Manusia sangat senang dipuja dan dipuji. Ini sangat berbahaya. Karena itu jika
anda dipuji, malah sebaliknya anda harus mencaci diri sendiri, karena dalam
diri anda tak lebih dari wujud cacat serba kurang dan buruk. Jadi memang tidak
layak untuk dipuji dengan berbagai alasan apa pun. Disamping itu pujian bisa
membuat orang riya’, takjub diri dan lupa diri. Inilah yang mengancam
eksistensi jiwa kita. Apalagi jika anda melihat hati anda sendiri, betapa
amal-amal anda sangat buruk dan cacat.
Lalu mana yang layak untuk dipuji? Sampai Rasulullah SAW, menegaskan, “Orang
beriman ketika dipuji, ia malah meragukan keimanan yang ada dalam hatinya.”
Maknanya, ia malah mencaci kondisi ruhaninya sendiri yang tak pantas dengan
pujian. Karena itu, “Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang membiarkan rasa
yakinnya diselaraskan menurut asumsi publik manusia.”
Kalau manusia berakal sehat ia lebih percaya pada penglihatan dirinya pada
dirinya yang penuh dengan cacat dan dosa. Tapi kalau mengikuti asumsi banyak
orang, yang hanya memandang lahiriyahnya belaka, seakan-akan diri kita ini
shaleh,ahli amal yang bagus, ahli ibadah, padahal tak lebih dari suatu
kebusukan belaka.
Disinilah Ibnnu Athaillah mengarahkan, “Bila terucap pujian padamu dan anda
tahu bahwa diri anda bukan layaknya dipuji, maka pujilah yang berhak layak
Dipuji (Allah SWT).” Semua pujian apa pun bentuknya jika itu terucap pada anda,
maka segeralah anda mengembalikan pujian itu pada Allah Ta’ala. Karena Dialah
yang layak dipuji.
Dalam hal ini, Syeikh Zarugq membagi tiga kategori manusia dalam soal
pujian:
1. Manusia yang merasa dirinya berhak dipuji dan dipuja, maka orang ini akan
hancur.
2. Manusia yang merasa dirinya tak layak dipuji, namun ia tidak melihat
kebajikan Allah Ta’ala padanya sehingga ia hanya sibuk mencela dirinya belaka.
Kalangan ini lebih baik, karena ia selamat dari penyakit pujian.
3. Orang yang melihat dirinya seperti pengantin yang mendapat sambutan dengan
pestanya. Namun sang pengantin malah menutupi dengan cadarnya ketika berhadapan
dengan mereka, karena malu atas segala kekurangannya saat itu.
Disinilah Sayyidina Ali KWH ketika mendengar pujian padanya, bermunajat: “Ya
Allah jadikan diriku ini baik sebagaimana dugaan mereka padaku. Dan janganlah
Engkau siksa kami karena apa yang mereka katakana kepadaku. Ampunilah kami atas
ketidaktahuan mereka pada diriku.”
Di luar tiga kelompok di atas adalah kalangan ahli hakikat, dimana mereka
tidak peduli dengan penerimaan maupun penolakan publik, karena konsentrasinya
hanya pada Allah SWT, semata.
Sufinews
Posting Komentar