Al Baihaqi meriwayatkan dari
Imam Syafi'i Ra bahwa dia berkata, "Perkara-perkara baru itu ada dua
macam, yaitu: pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan
Al Quran, Sunnah, atsar, atau ijma'. Maka, ini adalah bid'ah yang sesat. Kedua,
perkara-perkara baru yang baik; tidak ada pertentangan dengan satu pun (dari
rujukan-rujukan hukum di atas). Dan, ini adalah perkara baru yang tidak
tercela.
Umar bin Khaththab RA berkata tentang pelaksanaan shalat tarawih pada
bulan Ramadhan, "Alangkah baiknya bid'ah ini". Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila
dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara
yang dahulu (terjadi di zaman Nabi)". Demikian akhir kutipan dari pendapat
Imam Syafi'i.
Imam Suyuthi berkata, "Kegiatan merayakan maulid Nabi SAW tidak
bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar, maupun ijma'. Maka ini bukan
perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi'i. Justru
kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa-masa awal
Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah
perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang
dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para Ulama, Izzuddin bin
Abdissalam."
Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan syiar maulid adalah sunnah dan
qurbah (ibadah mendekatkan diri kepada Allah). Sebab kelahiran Nabi SAW
merupakan nikmat terbesar untuk kita, dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan
rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh.
Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal.
Beliau berkata, "Karena pada bulan ini Allah SWT menganugerahkan kepada
manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka
wajib untuk ditingkatkan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan, dan syukur
kepada Allah atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita."
Dasar hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid
Nabi SAW adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
bahwa Nabi SAW tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa
pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun
menjawab, "Ini adalah hari yang Fir'aun ditenggelamkan dan Musa
diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur
kepada Allah SWT"
Ibnu Hajar berkata, "Jadi, diambil faidah yang terkandung di dalam hadits
ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah SWT atas anugerah yang Dia berikan
pada hari tertentu, pemberian nikmat atau pencegahan dari bencana. Dan,
kegiatan itu diulangi pada hari yang sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu
tercapai dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah,
dan membaca Al Quran. Dan, nikmat manakah yang lebih hesar daripada nikmat
munculnya Nabi SAW ini, Nabi rahmat, pada hari itu?"
Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk kegiatan di dalam perayaan
tersebut dan berkata, "Maka semestinya kita batasi bentuk-bentuk kegiatan
itu pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT seperti
yang telah disebutkan: membaca Al Quran, memberi makan, melantunkan puisi-puisi
pujian bagi Nabi SAW dan puisi-puisi yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan
dan amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan
kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan
dengannya."
Imam Suyuthi mengutip penjelasan Imam tokoh-tokoh qira'at, Al-Hafizh Syamsuddin
Ibnu Jauzi dari kitabnya 'Urf Al-Ta'rif bi Al-Maulid Al-Syarif ', "Jelas
disebutkan dalam hadits shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari
siksa neraka pada setiap malam Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah setelah
mendengarkan berita gembira kelahiran Nabi SAW yang disampaikannya. Jika Abu
Lahab yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Quran mendapatkan
keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada malam
kelahiran Nabi SAW, maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan bertauhid
dari umat Nabi SAW yang bergembira dengan kelahiran beliau dan berusaha sekuat
tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? sungguh balasannya dari Allah SWT
adalah Dia memasukkannya ke dalam surga yang penuh kenikmatan dengan
karunia-Nya."
Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang disebutkan, bisa juga berdalil
dengan umumnya firman Allah SWT, "...dan ingatkanlah mereka kepada
hari-hari Allah," (QS. Ibrahim : 5)
Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi SAW termasuk hari-hari Allah, sehingga
memperingatinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian
bukanlah bid'ah, tetapi merupakan sunnah hasanah (tradisi baik), sekalipun
tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW
Kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW karena kita mencintainya. Dan bagaimana
kita tidak mencintainya, sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan
mencintainya. Ingatlah hadits tentang sebatang pohon karma yang tak bernyawa,
betapa ia menyayangi dan mencintai Nabi SAW serta rindu untuk selalu dekat
dengan Nabi SAW yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada
Nabi SAW
Al Habib Sholeh bin Ahmad bin
Salim Al Aydrus
Posting Komentar