Islam
itu indah, islam ada karena hadir dan kehadirannya bisa terus eksis karena
dakwah. Mustahil kita bisa menikmati islam, lalu mewariskan lagi kepada
anak cucu kita tanpa jasa-jasa para da’i yang selalu menyeru kepada kebaikan
dimuka bumi. Bahkan Allah sendiri memuji bagi orang-orang yang meluangkan
waktunya untuk mengajak manusia ke jalan dakwah kepada Allah, yakni “Dan
siapkah yang lebih baik ucapannya dari orang-orang yang menyeru kepada jalan
Allah” menjadi da’i tidak sekadar menyampaikan kebutuhan sepiritual
kepada orang lain, tetapi seorang da’i paling utama adalah orang pertama yang
mengerjakan kebaikan sebelum orang lain, karena itu seorang da’i begitu
penting memainkan peranan penting dalam hadinya islam.
Di era
modern ini dimana banyak orang menyadari perlunya menghadapkan diri kepada
Allah. Banyak da’i yang lahir bagaikan bak cendawan di musim hujan dikalangan
kaum muslimin, oleh karena itu kita sangat membutuhkan orang yang mampu
menunjukkan berbagai kesalahan kita dan mengingatkan kita dari penyimpangan.
Petunjuk inilah yang nantinya akan menghindarkan kita dari penyimpangan hingga
kita dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat yang menjadi obyek
dakwahnya. Kita sangat membutuhkan para da’i yang mampu berbicara dengan jelas
dan tidak menyebarkan keraguan, sehingga kita juga membutuhkan seorang da’i
yang mampu mengingatkan dan mampu meluruskan prilaku keliru terlebih di jalan
dakwah. Kita juga membutuhkan da’i yang mampu menemukan subtansi dari segala sesuatu,
mereka juga harus mampu memperbaiki berbagai perilaku keliru dan membentuk
kemampuan masyarakat untuk berbuat yang lebih baik lagi.
Meluruskan
perilaku yang keliru bisa berasal dari hati (qolby), jiwa (nafsy), akhlak
(akhlaqy) supaya tidak terjerumus pada jurang kesesatan dan kehancuran, oleh
karena itu kita selalu berharap kepada seorang da’i agar mampu meluruskan pada
hati lagi khilaf atau benar-benar khilaf. Sesuai peringatan Allah (QS.
Adz-Dzariyat:55), yang artinya : “Peringatkanlah! Sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.
Ayat
diatas memperingatkan kita agar kita selalu bersikap hati-hati, Pertama
berhati-hatilah dengan Niat yang Salah. Sebagai contoh, ada keinginan
mendapatkan penghormatan dari masyarakat dan status sosial yang tinggi, gila
popularitas, gila jabatan, sementara tidak diimbangi dengan niat yang baik
karena Allah.
Kedua
Sedikit Ilmu, sebagian dari perilaku yang keliru adalah keengganan kita
menuntut ilmu baik ilmu ilmu duniawi maupun ukhrawi. Inilah salah satu sikap
yang tercela bagi kita. Bagaimana kita bisa menjalakan aktivitas dakwah kalau
wawasan keilmuan kita sempit? Bagaimana kita mampu menjelaskan tentang
kemaslahatan umat kalau kita sendiri tidak mempunyai ilmu yang cukup. Sesuai
firman Allah (QS. Thaha : 114), yang artinya : “Katakanlah, Tuhanku
tambahkanlah aku akan ilmu”. Ayat tersebut juga mengingatkan pada kita agar
selalu belajar dan bertambahnya ilmu kita.
Ketiga,
adalah Ambiguitas, bagian dari perilaku kita yang keliru adalah sikap ambigu.
Inilah salah satu penyakit kita yang juga berbahaya dan sangat merusak keutuhan
kaum muslimin. Sikap ini yang ada akan membuatnya berwajah dua, wajah yang baik
dan wajah yang sebaliknya. Ia bisa menjawab berbagai pertanyaan dengan cara
yang berbeda, bahkan setiap jawaban yang ia berikan harus menguntungkan secara
pribadi dan ia tidak peduli pada prinsip etika, prinsip agama bahkan prinsip
berbudaya. Salah satu contoh sederhana sikap ambigu, yakni dia selalu berwajah
manis pada setiap orang padahal hanya berpura-pura, di depan orang lain dia
menampakkan wajah lembut padahal sejatinya hatinya sangat garang, keras kepala
bahkan tidak punya belas kasihan dan masih banyak lagi.
Semoga
Allah selalu memberikan jalan terbaik bagi kita dan selalu menunjukkan ke jalan
yang diridlai-Nya, sesuai sabda Rasulullah, “Barang siapa yang menunjukkan satu
kebaikan maka ia akan mendapat pahala seperti orang yang
mengerjakannya.”.
Ust.
Nur Ahmad, M.S.I, Dosen Dakwah dan Komunikasi IAIN Kudus (Dimuat diRubrik Cermin Hati Radar Kudus,24
April 2015 )
Posting Komentar