Ikhlas adalah kata yang sangat akrab di telinga kita. Bukan
saja bagi seorang Muslim, tapi bagi kaum munafik dan kafir sekalipun.
Kenyatannya, kata yang sederhana ini sangat sulit direalisasikan. Bahkan tak
berlebihan jika ikhlas adalah salah satu hal paling sulit untuk diwujudkan
dalam kehidupan ini.
Seorang ulama kontemporer, Ali Abdul Halim Mahmud, mengemukakan bahwa hakikhat
keikhlasan adalah melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah SWT; yaitu
bersihnya perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu, dengan tujuan mencari
ridha Allah dan mengharap pahala dari-Nya.
Definisi di atas menegaskan betapap penting setiap Muslim memiliki komitmen
keikhlasan dalam kehidupannya. Sungguh, keikhlasan hatilah yang sebenarnya
merupakan harta hakiki bagi seorang manusia. IBadah apapun yang dikerjakannya
tanpa keikhlasan, niscaya akan sia-sia. Tak ubahnya sebatang tubuh tanpa ruh.
Allah SWT berfirman; " ...Luruskanlah muka (diri)mu di setiap shalat dan
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya ... " (QS.
Al-A'raaf:29).
Keikhlasan seseorang dalam beribadah kepada Allah bertoak dari niatnya
mengerjakan ibadah tersebut. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya segala
perbuatan yang dilakukan itu (ditentukan) dengan niat dan sesungguhnya
tiap-tiap manusia apa yang diniatkannya." (HR. Muttafaqun 'alaih).
Jelasnya, orang yang ikhlas akan selalu berbuat tanpa pamrih. Bukan tepukan di
pundak yang ditunggu, bukan ucapan terima kasih yang diharapkan, bukan
popularitas yang dicari, bukan selembar penghargaan yang dinantikan. Tapi ia
mendedikasikan segenap keinginan hatinya hanya untuk Allah SWT. baginya,
keridhaan Allah adalah segala-galanya.
Keikhlasan seseorang sangat rentan dikotori penyakit riya. SEbab keduanya menempati
ruang sama dalam hati. Karena itu, jarak antara ikhlas dan riya sangat tipis,
bahkan lebih tipis dari kulit bawang. Sangat sulit mengukur keikhlasan
seseorang melalui pandangan lahiriyah.
Jadi, memelihara komitmen dalam hati agar terus berada dalam hati agar terus
berada pada jalur keikhlasan adalah mutlak. Setidaknya ada empat hal yang dapat
dilakukan sebagai ikhtiar mempertahankan komitmen tersebut.
Pertama, senantiasa memohon pertolongan dari Allah ta'ala. Manusia diciptakan
Allah dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Tentu tak seorang pun
manusia yang menjamin dirinya sanggup menghadapi godaan hidup dan pengaruh hawa
nafsu. Karenanya, salah satu upaya membentengi hati kita dari hal-hal yang dapt
merobohkan bangunan keikhlasan kita adalah dengan selalu memohon bantuan dan
pertolongan-Nya.
Kedua, senantiasa mensyukuri karunia, hidayah dari Allah SWT. Hendaknya kita
selalu menyadari bahwa kita adalah satu dari sedikit manusia yang diberi
hidayah oleh Allah Ta'ala., ketika kebanyakan manusia lainnya tetap dalam
kesesatannya. Bukankah Dia bisa saja membalikkan keadaan itu? Kesadaran akan
karunia hidayah Allah sangat diperlukan agar dapat selalu memelihara keikhlasan
dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (QS. al-Hujurat:17).
Ketiga, senantiasa meyakini pengawasan Allah (murraqabatullah). Keikhalasan
akan terpelihara baik dengan selalu menghadirkan keyakinan bahwa Allah SWT akan
selalu mengetahui gerak-gerik kita hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan yang
sekadar terlintas dalam benak dan tak seorangpun mengetahuinya (QS.
al-Hasyr:22).
Keempat, senantiasa mempertahankan kualitas amal shalih. Walau seseorang sudah
berupaya komitmen dalam keikhlasan pada setiap perbuatannya, ia tetap tak boleh
lengah sedikitpun. Sebab keikhlasan itu masih sangat mungkin digerogoti oleh
viru riya dan ujub sehingga amal-amalnya menjadi tidak bernilai di sisi Allah.
Keikhlasan laksana mutiara yang teramat mahal yang harus kita miliki dan
pelihara terus menerus. Kita berharap mudah-mudahan segala kenikmatan yang kita
dapat dari Allah merupakan buah dari kikhlasan kita di dalam beramal dan
berbuat kebajikan.
Ust. Muhammad Ilham Muchtar, M.Ag.
Posting Komentar