Perusahaan dilarang membuat aturan soal larangan
berhijab/berjilbab bagi pekerja wanitanya maupun bagi calon pekerja wanita
sebagai syarat penerimaan pegawai. Selain perbuatan tersebut dikategorikan
sebagai perlakuan diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama, perbuatan
tersebut juga dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi pekerja untuk
melaksanakan ibadah.
1. Perbuatan Diskriminasi
Perbuatan pengusaha yang menambahkan aturan tentang larangan
berhijab/berjilbab bagi pekerja wanita dapat dikategorikan sebagai perlakuan
diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama. Terkait hal ini, Pasal 5 dan
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)
Ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan di
atas menegaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan diskriminasi terhadap
pekerjanya maupun calon pekerja yang ingin bekerja di perusahaannya karena pada
dasarnya tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan, baik itu berdasarkan agama, kelamin, suku, ras maupun
aliran politik.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang dalam penerimaan
pegawai ingin melamar pekerjaan dilarang berjilbab oleh pengusaha, maka
perbuatan pengusaha tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan diskriminasi
atas dasar agama. Jika pengusaha melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU
Ketenagakerjaan, menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengenakan sanksi
administratif kepada pengusaha sesuai Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU
Ketenagakerjaan berupa teguran; peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha;
pembekuan kegiatan usaha; pembatalan persetujuan; pembatalan pendaftaran; penghentian
sementara sebagian atau seluruh alat produksi; pencabutan ijin.
2. Perbuatan Pelanggaran HAM
Mengenakan jilbab merupakan bentuk pelaksanaan ibadah yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam beragama. Hak beragama itu
sendiri telah termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar
1945 (“UUD 1945”):
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)
yang berbunyi:
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
drs.Ahmad Fikri (KSPSI Kudus)
Posting Komentar