“Perasaan senang, bahagia, tenteram, puas dan lapang dada ternyata tak
timbul sebab keserasian suatu raihan manusia dengan keinginannya. Begitu
sebaliknya, rasa sedih, masygul dan gundah gulana tak lahir karena kontradiksi
harapan dengan kenyataan. Segala rasa itu adalah kesan maknawi yang
dialirkan Sang Ilah ke hati hamba yang Ia kehendaki.”
“Tak jarang, seseorang yang hidup dalam kemiskinan, cacat fisik dan
kepelikan lain yang menyusahkan, nyatanya bisa menghirup perasaan legawa,
sejahtera, serta bahagia. Rasa hati yang positif itu bisa menjalar ke
kawan-kawan dekatnya, bahkan kepada orang yang memandang wajahnya atau menyebut
dirinya.”
“Banyak pula orang yang hidup dalam kemewahan materi, keperkasaan raga,
jaminan masa depan, dan kenyamanan, tapi, dengan segenap fasilitas itu, ia tak
merasakan damai. Hatinya sempit, keruh, susah, sumpek dan penuh gelisah. Siapa
saja yang membicarakan orang semacam ini bakal merasakan suntuk, apalagi
memandangnya atau berkumpul bersamanya.”
Manusia memang sering teperdaya. Mereka
senantiasa menyangka bahwa kebahagiaan hanya bisa direngkuh dengan kebendaan.
Kekayaan pun mereka kejar-kejar setengah mati. Dan begitu mereka dapat,
ternyata semua itu hampa, kosong, tak ada apa-apanya.
“Dunia ini tak ada bedanya dengan Dajjal. Sebuah hadis Nabi SAW mengenalkan
sosok Dajjal kepada kita: Ia (Dajjal) datang dengan membawa surga dan nerakanya
sendiri. Surga versi Dajjal yang disaksikan orang-orang, hakikatnya adalah
neraka yang membakar. Sedang neraka milik Dajjal yang terlihat oleh mata,
ternyata, itulah embun surga yang menyegarkan.”
“Dunia pun segendang sepenarian. Ia mengusung surga dan neraka. Surga yang
dihidangkan oleh dunia ternyata menyimpan azab, azab di dunia dan azab di
akhirat. Sementara itu, neraka dunia yang dirasakan oleh manusia ternyata
memendam sejuta nikmat, nikmat dunia dan nikmat akhirat.”
“Manakala kita menyaksikan seseorang dikaruniai anak yang banyak, limpahan
emas dan perak, pakaian-pakaian megah, rumah dan kendaraan mewah, makan dan
minuman lezat, istri nan jelita, kebun-kebun serta tanah-tanah yang lapang,
jabatan tinggi, banyak pengikut, dan popularitas, kita pasti membayangkan bahwa
ia telah berada di puncak kenikmatan dan kepuasan. Akan tetapi, bila kita mau
merenungkan lebih jauh, kita tersadar: sejatinya ia berada di pusaran keletihan
dan kepayahan; ia terkurung di dalam arus kesumpekan dan jurang fitnah serta
marabahaya. Betapa tidak. Kalau kita kaji lagi, segenap kesusahan, keresahan
dan laku dosa ternyata berpangkal dari kenikmatan-kenikmatan tersebut. Surga
yang semu itu pun menjelma neraka.”
“Coba kita amati orang yang hidupnya pas-pasan dan merasa cukup dengan semua
itu, yang jalan hidupnya zuhud, anaknya sedikit, pakaian dan rumah tinggalnya
sederhana, tak bermodal, bukan tuan tanah, khumul dan tak dihiraukan orang
banyak, serta menyepi dari keramaian, niscaya akan terbit rasa iba di hati kita
akan keadaannya. Kita bakal menyangka bahwa orang seperti ini senantiasa
digelayuti kesedihan. Kita takkan pernah tahu bahwa hati orang macam inilah
yang sebenarnya jauh lebih bahagia dan damai dari orang model pertama tadi.”
“Itu masih di dalam tataran dunia. Di akhirat kelak, sang manusia tak
berpunya akan beroleh harapan selamat dan sukses lebih besar dari si kaya raya.
Dari sini kita bisa menyerap kearifan: neraka dunia sebenarnya adalah surga.
Memang, tak ada kata rehat atau enak dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi bila
kita membaca ihwal kedua macam orang di atas, kita bisa menyaksikan perbedaan
yang sangat nyata.”
Kalam Habib Abdullah bin Husein bin Thahir
Posting Komentar