Buya Hamka menceritakan pengalamannya saat ibadah haji yang
kedua pada 1950. Menurutnya, suatu hari Amir Abdullah putra Amir Faisal putra
Ibnu Saud jatuh dari atas kuda hingga kakinya patah. Dokter-dokter di Makkah
pun memeriksa dan menyatakan kaki anak itu harus dipotong. Kabar ini sampai ke
dukun anak dari Palembang yang sedang bermukim di Arab.
Ia pun mengurut sekerat rotan sambil memejamkan matanya dan
mulutnya komat-kamit membaca mantera hingga kaki anak itu sembuh. Raja Arab
Saudi pun bertanya, "Apakah itu sihir?"
Dia menjawab, "Tidak. Saya tidak ahli sihir."
"Mengapa rotan yang engkau urut bukan kaki Amir?"
"Amir seorang mulia, tanganku tidak boleh
menyentuhnya."
"Apakah yang engkau baca?"
"Doa kepada Tuhan, dengan iktikad yang putus, dengan
tauhid yang khalis (murni), tidak mengharap pertolongan dari yang lain."
Raja dan amir-amir pun heran.
"Tamanna! Katakanlah apa yang engkau suka!"
"Kesukaanku hanya satu."
"Apa?" tanya Raja.
"Semoga Baginda Raja diberi umur yang panjang."
Hamka pun menjelaskan, konon Raja memerintahkan tukang urut
dari Palembang itu mengepalai rumah sakit kerajaan di Makkah. "Anta tabib,
gairak musy tabib (Engkau yang dokter, yang lain itu bukan dokter)."
Namun, perintah Raja itu ditolaknya. Sementara, banyak orang Arab mengatakan
dukun itu bodoh. Sebab, ia tidak menyahut "tamanna" dengan baik.
Ia tidak meminta rumah, mobil, uang, dan sebagainya
melainkan hanya mengatakan supaya usia Raja dipanjangkan. Menurut Hamka, itu
bukan kebodohan, melainkan jiwa asli bangsa Indonesia
Henry Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam, Jilid II
Posting Komentar