Memberi
sedekah hukumnya sunnah muakkad alias sangat dianjurkan sebagaimana
sering dijelaskan, namun juga bisa menjadi haram ketika orang yang bersedekah
mengetahui bahwa pemberian sedekahnya akan digunakan untuk keperluan maksiat.
Sedekah
sunat juga bisa menjadi wajib ketika, misalnya, seseorang menjumpai orang lain
dalam keadaan sangat membutuhkan makanan sementara dia mempunyai makanan yang
bisa diberikan. Dengan kata lain, diwajibkan menyerahkan harta yang dimiliki
selagi tidak dibutuhkan seketika itu.
Untuk
menggambarkan derajat keutamaan bersedekah Imam As-Suyuti merinci pahala
sedekah kedalam lima macam. Pertama, satu digantikan sepuluh yakni
sedekah pada orang yang sehat jasmani. Kedua, satu digantikan sembilan
puluh yakni sedekah kepada orang yang buta (cacat). Ketiga, satu
digantikan sembilan ratus yakni sedekah kepada kerabat yang membutuhkan. Keempat,
satu digantikan seratus ribu yakni sedekah kepada orang tua. Kelima,
satu diganti sembilan ratus ribu yakni kepda seorang ulama yang sangat mumpuni
pemahaman keagamaannya.
Secara
dilematis dipertanyakan kepada kita, lebih utama manakah mencari harta untuk
semata-mata beribadah kepada Allah atau dengan niatan untuk disedekahkan kepada
orang yang membutuhkan? Sulit dan kelihatannya tidak untuk dijawab karena
kedua-duanya sama benarnya. Hanya saja, kita perlu menimbang-nimbang dampak
positif atau negatif dari setiap tindakan; bertindak sesuai dengan pertimbangan
dan tidak melulu menuruti nalurinya yang selalu menginginkan keringanan hidup
dan kesenangan diri (termasuk dalam menginginkan pahala).
Imam
Ghazali berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur itu lebih baik daripada
orang miskin yang sabar. Bersyukur dalam pengertian bahwa nafsu memiliki
hartanya sama seperti orang miskin. Dia hanya akan membelanjakan hartanya untuk
kebutuhan-kebutuhan pokok. Juga mampu menahan diri dari keinginan konsumtif
karena dia ingat betul bahwa banyak orang yang sedang membutuhkan hartanya.
Namun
kalangan sufi lainnya sustru bersikukuh, ”Orang miskin yang sabar itu lebih
utama dari semuanya!”
Dikutip
dari kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Syeikh Ba’lawi bab Shadaqatut Thathowwu’, Darul Fiqr hlm 175-176
Posting Komentar