Agama
Islam di nusantara itu berkembang tidak melalui pedang atau suatu peperangan.
Akan tetapi agama Islam tersebar dengan dengan metode yang lain dari pada yang
lain, yaitu dengan cara mendirikan padepokan atau pondok pesantren.
Pesantren
pertama kali di pulau Jawa adalah terletak di Ampel Denta, suatu padepokan di
Surabaya yang diberikan oleh Prabu Brawijaya kepada Sunan Ampel (Raden Rahmat).
Dengan padepokan ini, Sunan Ampel mengajarkan Islam kepada putra-putri pribumi
yang berasal dari bermacam-macam latar belakang. Ada yang dari etnis perampok,
seperti Sunan Kalijaga. Ada yang dari paham Kejawen, seperti Sunan Muria. Dan
ada yang berasal dari keluarga kerajaan, yaitu Sultan Fatah, Raden Hasan dan
Raden Husein. Dan lain-lain dari beberapa penduduk pribumi.
Agama
Islam di nusantara itu berkembang tidak melalui pedang atau suatu peperangan.
Akan tetapi agama Islam tersebar dengan dengan metode yang lain dari pada yang
lain, yaitu dengan cara mendirikan padepokan atau pondok pesantren.
Pesantren
pertama kali di pulau Jawa adalah terletak di Ampel Denta, suatu padepokan di
Surabaya yang diberikan oleh Prabu Brawijaya kepada Sunan Ampel (Raden Rahmat). Dengan padepokan ini, Sunan Ampel mengajarkan Islam kepada putra-putri pribumi
yang berasal dari bermacam-macam latar belakang. Ada yang dari etnis perampok,
seperti Sunan Kalijaga. Ada yang dari paham Kejawen, seperti Sunan Muria. Dan
ada yang berasal dari keluarga kerajaan, yaitu Sultan Fatah, Raden Hasan dan
Raden Husein. Dan lain-lain dari beberapa penduduk pribumi.
Semua
santri-santri tadi bersatu menjadi satu belajar dan menuntut ilmu kepada Raden
Rahmat yang merupakan keponakan putri campa salah satu selir dari Raja
Brawijaya.
Untuk
mengembangkan persebaran agama Islam di nusantara, para Wali Songo yang
diketuai oleh Sunan Ampel merintis sebuah masjib agung yang terletak di kota
Demak, masjid Bintoro. Masjid ini merupakan perpaduan antara budaya Arab dan
Jawa, sebab serambinya masjid ini diambil dari serambi yang ada di kerajaan
Majapahit. Dari dua perpaduan yang antik ini banyak orang yang mengkeramatkan
masjid Bintoro.
Keanehan
masjid ini juga terletak pada sakanya. Mulanya oleh arsitekturnya (kanjeng
Sunan Kalijaga) sakanya ada tiga (Tiga ini merupakan lambang Iman Islam dan
Ihsan), kemudian setelah ditimbang-timbang saka tiga ini kurang pas. Akhirnya
kanjeng Sunan Kalijaga menambahkan satu saka lagi yang menjadi empat. Saka
terakhir ini tidak seperti yang tiga, tapi, terbuat dari tatal. Dari jumlah
empat yang digagas oleh Sunan Kalijaga ini mempunyai sebuah arti bahwa orang
Islam yang ingin selamat dunia dan akhirat harus menjalankan empat perkara,
yaitu syari'at, tarekat, hakikat dan makrifat.
Masjid
merupakan kunci syiarnya agama Islam. Hal ini sesuai dengan apa yang telah
diajarkan oleh Rasulullah SAW di awal dekade Hijriyah. Masjid yang pertama
beliau bangun adalah masjid Quba. Kemudian di tengah perjalan hijrahnya, beliau
membangun masjid lagi, yaitu masjid jum'at. Dan terakhirnya ketika beliau
sampai ke Madinah, belaiu berhenti di mana unta yang beliau kendarai akan
berhenti. Di situ beliau bertempat tinggal dan membangun masjid Nabawi.
Dari
uraian sejarah tadi menunjukan betapa pentingnya sebuah masjid sebagai pusat
penyebaran agama Islam. Agama Islam di Sarang, tempat di mana kita menimba ilmu
juga tidak bisa lepas dari peran penting masjid seperti fungsinya yang
terdahulu. Masjid pertama kali di Sarang bertempat di Belitung yang didirikan
oleh orang yang sakti mandraguna yang merupakan leluhur dari ulama-ulama
Sarang. Kapan masjid itu berdiri tidak ada orang yang mencatat. Namun di masjid
itu banyak sekali terdapat keanehan sebagaimana yang disaksikan oleh Syaikhina
Maimoen Zubair. Masjid ini tidak memekai paku. Usuk dan rengnya hanya
ditumpukan pada sebuah lubang untuk pengerat.
Keanehan
masjid Belitung juga dilambangkan pada sebuah ikan Lele yang berwarna putih
yang terletak di kolam yang tidak jauh dari masjid. Dahulu ketika bangunannya
tidak memakai paku, lele putih tersebut masih tetap nampak. Namun setelah
masjid tersebut sudah direnovasi sebagai mana masjid-masjid yang lain ikan Lele
tadi tidak nampak lagi. Subhanallah. Sungguh kejadian ini pernah dialami oleh
Syaikhina Maimoen Zubair sendiri.
Leluhur Syaikhina Maimoen Zubair zaman dahulu sering Jum'atan di masjid
Belitung. Beliau berasal dari madura, belaiu adalah kyai Usmant bin kyai Ya'qub
bin kyai Ma'ruf bin kyai Shamad bin kyai Abdurrafiq bin kyai Abdul Mufid.
Cerita santri dari pengajian KH. Maimoen Zubaer
Posting Komentar