Kita
kembali ke sejarah Demak lagi. Setelah masjid Agung Bintoro jadi, masjid itu
tidak langsung diresmikan. Tapi, menunggu pembuatan serambi yang di ambil dari
kerajaan Majapahit yang sering digunakan untuk pasebanan pembesar keraton.
Ketika kerajaan majapahit tumbang, kemudian digantikan dengan kerajaan Demak dan
karajaan yang berada di kota Solo, yaitu kerajaan Pajang. Kerajaan Demak
dipimpin oleh Sultan Fatah, putra Brawijaya dari selir. Sedangkan kerajaan
Pajang dipimpin oleh putra brawijaya dari permaisurinya. Raden Fatah sejak dari
kecil sudah menganut agama Islam sebab ibunya beragama Islam. Di dalam Islam
jika ada anak lahir dari ibu yang Islam dan ayah yang tidak Islam maka anaknya
menjadi Islam, karena agama Islam itu tinggi tidak ada yang meninggihi Islam.
Kedua
kerajaan hasil perpecahan majapahit tadi saling menghargai. Meskipun sebenarnya
Pajang ini masih menganut ajaran hindu yang sangat kental sekali dengan paham
kejawennya. Kental dengan yang namanya mitos pantai Selatan. Namun sedikit demi
sedikit Islam tertanam di hati orang Solo, meskipun tidak sekuat dengan Islam
yang ada di Demak. Maka dari itu, jangan kasar-kasar kalau mengajarkan agama
Islam kepada orang Solo.
Sebagai
simbol kerukunan kerajaan tersebut, raja Pajang mengutus dua pemuda yang sudah
masuk Islam untuk pergi ke Demak. Namun, belum sampai ke Demak kedua utusan
tersebut meninggal di jalan, yaitu di daerah Cepu, di Sumber Wates. Utusan tadi
terkenal dengan sebutan dengan Sunan Janjang. Sunan Janjang ini adalah salah
satu Sunan yang gemar akan budaya Wayang dengan lakon Semar dan Gareng.
Setelah
masjid yang menjadi tanda syiarnya agama Islam, hendaknya umat Islam itu selalu
berpegang teguh pada ajaran ulama salaf dengan mengkaji karangan-karangannya
yang bertuliskan dengan literatur bahasa Arab tanpa diberi harakat dan makna.
Mereka dapat memahami kitab tersebut. Tapi, sayangnya di zaman sekarang,
kebudayaan dengan kedua metode tersebut kian hari tambah berkurang. Banyak
orang yang memahami ajaran Islam lewat terjemahan. Mereka jadi kyai tetapi
tidak bisa membaca kitab gundul. Sungguh aneh kenyataan ini. Syarat untuk
tafaqquh fiddin itu harus bisa berbahasa Arab, sebab al-Quran dan al-Hadis itu
berbahasa Arab.
Inilah
rahasia Allah. Allah tidak bisa dipaksa. Allah berkehendak untuk melakukan apa
yang menjadi kehendak-Nya. "Saya menginginkan kamu juga menginginkan tapi
Allah melakukan apa yang diinginkan-Nya." Tapi, jangan kau hina mereka
yang mempelajari agama Islam dengan terjemahan. Biarlah mereka melakukan
jalannya sendiri. Yang terpenting kamu melakukan jalan yang sesuai dengan ajaran
ulama salaf.
Berkaitan
dengan permasalahan di atas, dahulu Syiakhina Maimoen pernah sowan kepada
salah satu kyai yang keramat. Beliau adalah kyai Rahmat. Di perjalan itu beliau
ditemani dengan temannya. Namun, teman syaikhina tadi tidak sadarkan diri di
tengah perjalannya. Tiba-tiba ada seseorang yang datang entah dari mana
asalnya. Orang tersebut berpesan kepda Syaikhina Maimoen untuk mempertahankan
tulisan yang ditulis dengan alif Ba' tak (huruf hijaiyyah). Kelak akan ada
zaman, di mana seoerang pelajar agama Islam tidak menggunakan tulisan tersebut.
Setelah
doa orang tersebut diamini oleh Syaikhina Maimoen, tiba-tiba orang tersebut
hilang entah ke mana. Subhanallah. Marilah kita mewarisi jejak-jejak ulama
salaf dengan cara mempealjari Islam yang sesuai dengan jejak ulama salaf. Yaitu
dengan cara memakai kitab lieteratur Arab. Tapi, kalau ada yang memakai
terjamahan jangan diganggu.
Salah
satu karya peninggalan ulama salaf adalah kitab Fathal Qorib dan Fathal Muin.
Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh mbah Ghazali bin Lanah manjalankan
ibadah haji yang mana beliau tidak menemui hari untuk wuquh di Arafah. Akhirnya
beliaiu terpaksa menginap di Arab guna untuk menyempurnakan ibadah hajinya di
tahun mendatang. Di sela-sela beliau menunggu datangnya musim haji lagi, beliau
menyempatkan diri untuk mengaji kitab fathal muin karaya al-Malibari dan tafsir
al-Jalailain kepada ulama setempat
Cerita Santri dari Pengajian KH. Maimoen Zubaer
Posting Komentar