Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Fungsi Masjid Dan Persebaran Agama Islam di Nusantara (2)

Fungsi Masjid Dan Persebaran Agama Islam di Nusantara (2)

Kita kembali ke sejarah Demak lagi. Setelah masjid Agung Bintoro jadi, masjid itu tidak langsung diresmikan. Tapi, menunggu pembuatan serambi yang di ambil dari kerajaan Majapahit yang sering digunakan untuk pasebanan pembesar keraton. Ketika kerajaan majapahit tumbang, kemudian digantikan dengan kerajaan Demak dan karajaan yang berada di kota Solo, yaitu kerajaan Pajang. Kerajaan Demak dipimpin oleh Sultan Fatah, putra Brawijaya dari selir. Sedangkan kerajaan Pajang dipimpin oleh putra brawijaya dari permaisurinya. Raden Fatah sejak dari kecil sudah menganut agama Islam sebab ibunya beragama Islam. Di dalam Islam jika ada anak lahir dari ibu yang Islam dan ayah yang tidak Islam maka anaknya menjadi Islam, karena agama Islam itu tinggi tidak ada yang meninggihi Islam.

Kedua kerajaan hasil perpecahan majapahit tadi saling menghargai. Meskipun sebenarnya Pajang ini masih menganut ajaran hindu yang sangat kental sekali dengan paham kejawennya. Kental dengan yang namanya mitos pantai Selatan. Namun sedikit demi sedikit Islam tertanam di hati orang Solo, meskipun tidak sekuat dengan Islam yang ada di Demak. Maka dari itu, jangan kasar-kasar kalau mengajarkan agama Islam kepada orang Solo.

Sebagai simbol kerukunan kerajaan tersebut, raja Pajang mengutus dua pemuda yang sudah masuk Islam untuk pergi ke Demak. Namun, belum sampai ke Demak kedua utusan tersebut meninggal di jalan, yaitu di daerah Cepu, di Sumber Wates. Utusan tadi terkenal dengan sebutan dengan Sunan Janjang. Sunan Janjang ini adalah salah satu Sunan yang gemar akan budaya Wayang dengan lakon Semar dan Gareng.

Setelah masjid yang menjadi tanda syiarnya agama Islam, hendaknya umat Islam itu selalu berpegang teguh pada ajaran ulama salaf dengan mengkaji karangan-karangannya yang bertuliskan dengan literatur bahasa Arab tanpa diberi harakat dan makna. Mereka dapat memahami kitab tersebut. Tapi, sayangnya di zaman sekarang, kebudayaan dengan kedua metode tersebut kian hari tambah berkurang. Banyak orang yang memahami ajaran Islam lewat terjemahan. Mereka jadi kyai tetapi tidak bisa membaca kitab gundul. Sungguh aneh kenyataan ini. Syarat untuk tafaqquh fiddin itu harus bisa berbahasa Arab, sebab al-Quran dan al-Hadis itu berbahasa Arab.

Inilah rahasia Allah. Allah tidak bisa dipaksa. Allah berkehendak untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. "Saya menginginkan kamu juga menginginkan tapi Allah melakukan apa yang diinginkan-Nya." Tapi, jangan kau hina mereka yang mempelajari agama Islam dengan terjemahan. Biarlah mereka melakukan jalannya sendiri. Yang terpenting kamu melakukan jalan yang sesuai dengan ajaran ulama salaf.

Berkaitan dengan permasalahan di atas, dahulu Syiakhina Maimoen pernah sowan kepada salah satu kyai yang keramat. Beliau adalah kyai Rahmat. Di perjalan itu beliau ditemani dengan temannya. Namun, teman syaikhina tadi tidak sadarkan diri di tengah perjalannya. Tiba-tiba ada seseorang yang datang entah dari mana asalnya. Orang tersebut berpesan kepda Syaikhina Maimoen untuk mempertahankan tulisan yang ditulis dengan alif Ba' tak (huruf hijaiyyah). Kelak akan ada zaman, di mana seoerang pelajar agama Islam tidak menggunakan tulisan tersebut.

Setelah doa orang tersebut diamini oleh Syaikhina Maimoen, tiba-tiba orang tersebut hilang entah ke mana. Subhanallah. Marilah kita mewarisi jejak-jejak ulama salaf dengan cara mempealjari Islam yang sesuai dengan jejak ulama salaf. Yaitu dengan cara memakai kitab lieteratur Arab. Tapi, kalau ada yang memakai terjamahan jangan diganggu.

Salah satu karya peninggalan ulama salaf adalah kitab Fathal Qorib dan Fathal Muin. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh mbah Ghazali bin Lanah manjalankan ibadah haji yang mana beliau tidak menemui hari untuk wuquh di Arafah. Akhirnya beliaiu terpaksa menginap di Arab guna untuk menyempurnakan ibadah hajinya di tahun mendatang. Di sela-sela beliau menunggu datangnya musim haji lagi, beliau menyempatkan diri untuk mengaji kitab fathal muin karaya al-Malibari dan tafsir al-Jalailain kepada ulama setempat



Cerita Santri dari Pengajian KH. Maimoen Zubaer

Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger