Haruskah puasa Syawwal dilakukan berturut-turut atau tidak,
para fuqaha berbeda pendapat. Mengapa berbeda pendapat? Tidak adakah aturan dari nabi SAW
tentang tata cara puasa Syawwal?
Jawabnya memang tidak ada aturannya. Dan oleh karena itulah
makanya para ulama berbeda pendapat. Seandainya ada hadits shahih yang
menjelaskan bahwa puasa Syawwal itu harus berturut-turut sejak tanggal-tanggal
Syawwal, maka pastilah semua ulama bersatu dalam pendapat.
Namun karena tidak ada satu pun dalil qath’i yang sharih dan
shahih tentang aturan itu, amat wajar bila hal itu masuk ke wilayah ijtihad. Kalau yang berijtihad hanya orang awam seperti kita, mungkin
bisa kita abaikan. Akan tetapi kita merujuk kepada orang yang paling tinggi
levelnya dalam berijtihad. Mereka adalah para imam mazhab dan pendirinya
langsung. Berikuti ini adalah pendapat mereka:
a. Asy-Syafi’iyah dan sebagian Al-Hanabilah
Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian fuqaha Al-Hanabilah
mengatakan bahwa afdhalnya puasa 6 hari Syawwal itu dilakukan secara
berturut-turut selepas hari raya ‘Iedul fithri. Sehingga afdhalnya menurut mazhab ini puasa Syawwal dilakukan
sejak tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawwal. Dengan alasan agar jangan sampai
timbul halangan bila ditunda-tunda.
Nampaknya pendapat ini didukung oleh beberapa kalangan umat
Islam di negeri ini. Misalnya di daerah Pekalongan Jawa Tengah. Sebagian
masyarakat muslim di sana punya kebiasaan puasa Syawwal 6 hari berturut-turut
sejak tanggal 2 syawwal. Sehingga ada lebarang lagi nanti pada tanggal 8
Syawwal.
b. Mazhab Al-Hanabilah
Tetapi kalangan resmi mazhab Al-Hanabilah tidak membedakan
apakah harus berturut-turut atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh dari segi
keutamaan. Sehingga dilakukan kapan saja asal masih di bulan Syawwal,
silahkan saja. Tidak ada keharusan untuk berturut-turut, juga tidak ada
ketentuan harus sejak tanggal 2 Syawwal.
Mereka juga mengatakan bahwa puasa 6 hari syawwal ini hukumnya
tidak mustahab bila yang melakukannya adalah orang yang tidak puasa bulan
Ramadhan.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah yang mendukung kesunnahan
puasa 6 hari syawwal mengatakan sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa lebih utama
bila dilakukan dengan tidak berturut-turut. Mereka menyarankan agar dikerjakan
2 hari dalam satu minggu.
d. Mazhab Al-Malikiyah
Adapun kalangan fuqaha Al-Malikiyah lebih ekstrim lagi.
Merekamalah mengatakan bahwa puasa itu menjadi makruh bila dikerjakan
bergandengan langsung dengan bulan Ramadhan. Hukumnya makruh bila dikerjakan mulaitanggal
2 Syawwal selepas hari ‘Iedul fithri.
Bahkan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari itu juga
disunnahkan di luar bulan Syawwal, seperti 6 hari pada bulan Zulhijjah.
Demikianlah perbedaan pendapat di kalangan 4 mazhab, semua
terjadi karena tidak ada satu pun nash yang menetapkan puasa Syawwal harus
dikerjakan dengan begini atau begitu. Dan ketiadaan nash ini memberikan peluang
untuk berijtihad di kalangan fuqaha.
Kita boleh menggunakan pendapat yang mana saja, karena semua
merupakan hasil ijtihad para fuqaha kawakan, tentunya mereka sangat mengerti
dalil dan hujjah yang mendukung pendapat mereka.
Dan rasanya aneh kalau kita yang awam ini malah saling
menyalahkan antara sesama yang awam juga. Sebab hak untuk saling menyalahkan
tidak pernah ada di tangan kita. Jangankan kita, para ulama besar itu pun tidak
pernah saling menyalahkan. Meski mereka saling berbeda pendapat, namun hubungan
pribadi di antara mereka sangat erat, mesra dan akrab.
Kita tidak pernah mendengar mereka saling mencaci, memaki,
atau melecehkan. Padahal mereka jauh lebih berhak untuk membela pendapat
mereka. Namun sama sekali kita tidak pernah mendengar perbuatan yang tercela
seperti itu. Hanya orang-orang kurang ilmu saja yang pada hari ini merasa
dirinya pusat kebenaran, lalu menganggap bahwa semua orang harus selalu salah.
Naudzubillah, Wallahu a’lam bishshawab.
Ust. Ahmad Sarwat, Lc
Posting Komentar