Cinta
dalam Islam adalah salah satu syarat dari keimanan seorang. Tidaklah termasuk
orang yang beriman, apa bila ia tidak memiliki rasa cinta, terlebih terhadap
sesama mukmin. Sabda Rasulullah, ”Tidaklah beriman di antara kalian hingga
mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (Al-Hadits).
Terhadap harta, istri, keluarga, pun harus demikian. Namun, agar cinta
tidak mengarahkan kita kepada kenistaan hidup, sebagaimana kasus-kasus di atas,
maka cinta terhadap kesemuanya itu harus berada di bawah cinta kepada
penganugerah cinta itu sendiri, yaitu Allah. Kenistaan tidak akan didapati,
ketika cinta berjalan demikian.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan bahwa ada tiga hal yang bisa membuat
seorang hamba akan merasakan manisnya keimanan, di antaranya adalah mencintai
Allah di atas segalanya. Lengkapnya hadits tersebut berbunyi, ”Ada tiga hal,
yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya
iman. (Yaitu); Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya;
Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk
kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana
bencinya jika dicampakkan ke dalam api." (Muttafaq ‘alaih).
Dari hadis ini pula kita bisa mengambil benang merah, cinta kepada Allah
menuntut kita untuk mencintai segala hal apa yang dicintai-Nya, dan membenci
apa/siapapun yang dibenci-Nya. Akan timbul keraguan akan ketulusan cinta yang
dimiliki, apabila dia tidak menunjukkan ketaatan kepada yang ia cintai.
Dalam hal ini Allah juga berfirman, ”Katakanlah Muhammad, jika kamu
mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampunimu...” (Al-Imron: 31)
Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Sebabnya, untuk menunjukkan cinta kepada
Allah, kita pun harus mencintai beliau, dan terhadap apa yang diajarkannya.
Cinta model ini, juga telah mengantarkan Umar bin Khathab, menjadi sosok yang
mulia, yang sebelumnya merupakan sosok yang bengis. Al-kisah, pada suatu hari
Rasulullah menanyai tentang besar cintanya terhadap beliau. Umar menjawab, “Aku
mencintaimu ya Rasulullah melebihi cintaku kepada semua yang lain, kecuali
diriku sendiri”. Mendengar jawaban demikian, Rasulullah akhirnya menimpali,
“Tidak wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”
Ketika cinta telah mengikuti hirarki demikian, maka, cinta kita terhadap yang
lainnya akan lurus. Cinta terhadap istri, anak-anak, keluarga, harta benda,
jabatan, akan menjadi lurus kalau ia berada dalam ruang besar yang bernama
cinta kepada Allah. Tidak akan ada cerita tentang penyelewengan cinta, yang
dilakukan Bani Adam, ketika cinta mereka telah menapaki jejak cinta yang telah
ditetapkan oleh Allah. sikap sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami
taati) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rasulnya (tanpa
harus mendiskusikannya terlebih dahulu), juga menjadi ciri akan kemurnian cinta
kepada Ilahi Rabbi.
Kesimpulannya, untuk meraih kemuliaan hidup dengan cinta, maka kita harus
memposisikan cinta sesuai dengan hirarki yang telah dipaparkan di atas.
Mudah-mudahan, Allah mencatat kita termasuk golongan orang-orang yang telah
menapakkan cinta sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Yusuf
‘Alaihi Wassalam, ataupun Umar bin Khathab. Wallahu’alam
bis-shawab.
Ditulis oleh Robinshah
Posting Komentar