Keteguhan dan kokohnya nilai-nilai
tauhid yang dimiliki Abu Bakar As-Shiddiq r.a juga dapat kita simak dan
teladani dalam beberapa peristiwa lainnya.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Abu
Bakar sedang berada di Sunh, sebuah kampung di pinggiran kota Madinah di tempat
salah seorang isterinya; tanpa ada tanya itu dan ini, setelah mendapat kabar
tentang wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar segera berangkat ke rumah
Rasulullah SAW. Padahal waktu sholat shubuh di Masjid (Nabawi) Abu Bakar masih
bertemu dengan Rasulullah SAW dan juga menjadi imam sholat atas perintah Rasulullah
SAW.
Abu Bakar sedikitpun tidak terkejut
dengan berita wafatnya Rasulullah SAW, sebab bagaimanapun juga hal itu adalah
bagian dari kekuasaan dan kehendak Allah SWT sebagaimana yang ditegaskan Allah
di dalam Kitab-Nya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya); dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(QS. Al-Anbiyaa’: 35)
Dengan langkah tegar Abu Bakar masuk
ke rumah Aisyah (puterinya dan juga isteri Rasulullah SAW), Abu Bakar membuka
penutup wajah jenazah Rasulullah SAW, dan setelah mencium wajah sahabatnya;
menantunya dan Rasul Allah yang paling dimuliakan oleh seisi alam semesta ini,
Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, alangkah sedapnya (harumnya)
sewaktu engkau hidup; dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat.”
Setelah itu Abu Bakar keluar menemui
kaum muslimin yang sedang berkerumun melihat Umar bin Khattab yang sedang
berpidato, yang mengatakan Rasulullah tidaklah wafat, melainkan hanya sejenak
pergi bertemu Allah sebagaimana halnya Musa a.s pergi ke Bukit Thursina
menerima wahyu dari Allah dan kembali lagi setelah 40 hari kemudian. Dalam
keadaan Umar dan kaum muslimin yang demikian itu, Abu Bakar berseru kepada
mereka semua:
“Saudara-saudara, barangsiapa yang
menyembah Muhammad, maka sekarang Muhammad sudah meninggal dunia. Akan tetapi
barangsiapa yang meyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tak akan
pernah mati.”
Lalu Abu Bakar membacakan firman
Allah SWT:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah
jika dia (Muhammad) wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran: 144)
Demi mendengar suara lantang Abu
Bakar tersebut semua orang terdiam; Umar yang tadi kokoh dan bicara penuh
semangat menjadi lunglai, rubuh dan pingsan beberapa saat setelah benar-benar
sadar bahwa Rasulullah SAW memang telah berpulang ke rahmatullah.
Lihat dan simaklah oleh kita, betapa
tingginya nilai aqidah; nilai tauhid; nilai keyakinan Abu Bakar terhadap kuasa
dan kehendak Allah SWT. Padahal Muhammad SAW adalah orang yang paling-paling
beliau sayangi dan cintai melebihi kedua ibu bapaknya. Lalu bagaimana dengan
kita, jika mengalami hal semacam itu.
Jika kita dihadapkan pada situasi
semacam itu, maka tentulah sesaat kita menjadi Umar bin Khattab, seakan tak
percaya pada qudrat dan iradatnya Allah SWT. Alih-alih atau bukannya kita
segera mengucapkan istirja (innaa lillahi wa innaa ilahi
roji’un), malah yang ada kita guyon dengan orang menyampaikan kabar kematian
sahabat atau teman dekat kita tersebut. Terlebih-lebih lagi jika teman kita
yang meninggal dunia tersebut tidak dalam keadaan sakit, bahkan mungkin
beberapa jam sebelumnya masih sempat ngobrol dan minum kopi bersama. Dan bisa
saja kalimat pertama yang terlontar dari mulut kita adalah semacam
penafian atas kehendak Allah SWT: “Ah masa iya, baru beberapa jam tadi
kami sama-sama berjama’ah di Masjid. Bahkan kami sempat ngopi bareng
sebelum pisah ke rumah masing-masing.”
KH. Bachtiar Ahmad
Posting Komentar