“Hati-hatilah
anda dari penguasa, janganlah dekat dengan mereka atau berhubungan dalam urusan
apapun, janganlah anda tertipu dengan tipuan Iblis yang membisikkanmu bahwa
engkau menemui mereka dalam rangka membela orang-orang yang tertindas dan
mengembalikan hak-hak mereka.
Hanya ulama su’ (buruk) yang menjadikan dekat dengan
penguasa sebagai tangga untuk mencapai ambisi dunianya. Adapaun fatwa yang
sudah ada maka pergunakanlah, janganlah menjadi orang yang senang jika ucapanya
didengar dan diikuti, serta diekspose secara meluas. Apabila ia meninggalkan
itu semua, maka diketahuilah keikhlasannya.
Hati-hatilah anda dari cinta
kepemimpinan, karena orang yang berambisi terhadap kepemimpinan ia lebih
mencintai kepemimpinan daripada cintanya terhadap emas dan perak. Celah ini
sangat tersamar, tidak ada yang mengetahuinya kecuali ulama yang berpengalaman.
Waspadalah dalam urusan hati, dan
beramalah dengan niat yang ikhlash, dan ketahuilah sudah dekat waktunya bahwa
perkara yang diinginkan oleh seseorang adalah apabila meninggal dunia,
wassalam”.
Salah seorang shalih menceritakan
kepada raja tentang seseorang yang gemar beribadah, maka raja ingin berkunjung
kepadanya, diberitahukanlah jadwal kunjungan sang raja kepada ahli ibadah
terebut. Pada saat kedatangan raja, ahli ibadah tersebut duduk di pinggir jalan
sambil makan, sang raja datang menemui ahli ibadah yang sedang duduk di pinggir
jalan sambil makan, raja mengucap salam dan dijawab oleh ahli ibadah dengan
singkat sambil menyantap makanan dengan lahap tanpa menghiraukan kedatangan
sang raja.
Raja menjadi kecewa dan berkata: “Orang ini tidak mempunyai kebaikan
sama sekali !” lalu pulanglah sang raja. Setelah sang raja pergi, si ahli
ibadah berkata: “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah menjauhkan
saya dari orang itu dan dia pulang dalam keadaan mencelaku”.
Permasalahan ini sangat luas
sekali, dan di sini terdapat point yang sangat halus sekali. Yaitu bahwa
seorang manusia kadang mencela diri sendiri di hadapan orang lain, dengan
tujuan agar orang lain menganggap dia sebagai orang yang tawaddlu’, sehingga ia
menjadi mulia dan terpuji di mata manusia. Ini merupakan bagian dari pintu
riya’ yang sangat halus, para ulama’ telah memperingatkan terhadap hal ini.
Jelaslah sudah sebagaimana telah
kami sebutkan, bahwa cinta harta dan kedudukan serta ambisi terhadap keduanya
dapat merusak agama seorang muslim sampai habis tak bersisa, kecuali Allah
berkehendak lain. Akar dari cinta kepada harta dan kemuliaan adalah cinta
kepada dunia dan akar cinta kepada dunia adalah mengikuti hawa nafsu.
Allah berfirman:
فَأَمَّا مَن طَغَى . وَءَاثَرَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى . وَأَمَّا مَنْ
خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ
الْمَأْوَى
"Adapun orang yang melampaui
batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah
tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya)". [an-Nazi’aatL: 37 – 41]
Allah berfirman:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ
بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ
مَاحِسَابِيَهْ . يَالَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ . مَآأَغْنَى عَنِّي
مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
"Adapun orang-orang yang
diberikan kitabnya kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata:"Wahai
alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak
mengetahui apa hisab terhadap diriku, wahai kiranya kematian itulah yang
menyelesaikan segala sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat
kepadaku, telah hilang kekuasaan dariku". [al-Haaqqaah: 25-29]
Disarikan dari kitab:
Syarhun wa bayanun lihaditsi “Maa Dzi’baani Ja’iaani”
Posting Komentar