Di
sebuah rumah kecil, hidup seorang nenek buta yang memiliki seekor kambing,
sebuah ember dan tikar yang sudah usang. Melihat keadaanya yang sangat
menyedihkan, Umar bin Khattab berjanji kepadanya untuk datang setiap saat
membantu membersihkan rumahnya, memeras susu kambing dan membawa makanan
baginya.
Satu
hari sebagaimana biasa ia datang ke rumah nenek buta itu, tapi hari itu sangat
berbeda dengan hari hari yang lain, ia mendapatkan rumahnya sudah rapi, bersih,
susu kambing sudah diperas dan makanan sudah tersedia. Beliau sangat heran
siapa gerangan yang datang kerumah nenek itu?.
Hari
berikutnya ia datang lagi ke rumahnya. Begitu pula ia dapatkan rumahnya sudah
rapi, bersih, susu kambing sudah diperas dan makanan sudah tersedia. Timbul
penasaran di hati Umar ra ingin cari tahu siapa gerangan yang datang membantu
nenek tua tadi.
Hari
berikutnya ia datang ke rumah nenek buta pagi pagi sekali. Hari itu berbeda
dengan hari biasanya, ia tidak masuk ke rumahnya, tetapi ia duduk di luar rumah
menunggu siapa gerangan yang datang ke rumahnya setiap hari. Tiba tiba
seorang datang mengetuk pintu rumah nenek buta itu dan masuk ke dalam rumah. Ia
adalah Abu Bakar Shiddik ra. Pada saat itu ia menjabat sebagi khalifah.
Setelah
Umar ra mengetahui kejadian itu, Ia kembali pulang dan di hati beliau tersimpan
kesan indah dan pujian terhadap perbuatan dan kemurahan hati khalifah Abu Bakar
ra yang selalu mendahuluinya dalam segala kebaikan.
Umar
Kekasih Allah
Setelah
wafatnya Umar bin Khattab ra dan Ustman bin Affan ra, Imam Ali bin Abi Thalib lebih
senang hidup menyendiri, jauh dari lingkungan kehidupan masyarakat kota.
Suatu
malam, pernah Imam Ali bin Abi Thalib duduk menyendiri di rumah. Di malam itu
udara dingin mulai menyengat tubuh sedangkan ia hanya mengenakan pakaian biasa
dan burdah* usang yang melilit di lehernya. Mata beliau tertunduk kebawah
sambil bertasbih tak henti hentinya. Tiba tiba seorang laki laki datang ke
rumahnya. Ia disebut Abu Maryam. Setelah dipersilahkan masuk, ia bersila
dihadapan Imam Ali ra. Kedua tangannya memegang lutut beliau. Dengan penuh
tawadhu’, ia berbisik kepada imam Ali ra “Ya Amirul Muminin, saya ada perlu
sedikit”. Imam Ali pun berkata “Silahkan sebut keperluanmu”. Kemudian Abu
Maryam berkata “buanglah burdah yang kau lilitkan di lehermu. Sesungguhnya burdah
itu sudah usang tak pantas seorang Amirul Muminin seperti kamu mengenakanya”.
Mendengar
ulasan Abu Maryam Imam Ali ra menagis tersedu sedu. Hal ini membuat Abu Maryam
menjadi malu telah melontarkan kata kata yang menyinggung perasaan beliau.
Setelah Imam Ali ra mulai redah dari tangisanya beliau pun berkata “Ya Aba
Maryam, sesungguhnya setiap kali aku mengenakan burdah ini, timbul kecintaanku
yang meluap luap kepadanya. Burdah ini hadiah dari temanku yang paling aku
cintai”. Abu Maryam penasaran ingin tahu siapa gerangan teman beliau yang
paling dicintainya. Ia langsung bertanya “Siapa gerangan temanmu yang paling
kau cintai itu?”. Imam Ali pun menjawab “Umar bin Khattab. Umar bin Khattab
kekasih Allah dan Allah kekasih Umar”. Kemudian beliau menangis lagi sambil
mengusap air mata beliau dengan ujung burdahnya*.
Umar
RA Dan Nenek Tua
Di
pagi yang cerah, seorang perempuan tua berjalan terbungkuk bungkuk dengan
tongkat di tangannya. Ia melewati tempat di mana Umar bin khatab ra dan
rombongan Quraish sedang berdiri. Melihat wanita tua itu, Umar ra lari tergesa
gesa mengejarnya dan ditinggalkan semua sahabat beliau. Belaiu menghampirinya
dan menyapanya dengan penuh hormat. Beliau menundukan kepalanya dengan khidmah
sehingga bisa mendengar apa yang diperintahkan kepadanya. Beliau tidak
meninggalkannya sehingga semua urusan perempuan tua tadi beres.
Selesai
membantunya, khalifah Umar bin Khattab ra kembali kepada rombongan kaum
Quraish. Salah satu shahabat bertanya: “kenapa anda meninggalkan kami dan
berlari kepada perempuan tua tadi?. Umar ra segera menjawab “kamu tahu siapa
perempua tua tadi?” Sahabat berkata “Saya tidak tahu wahai Amirul Muminin?”.
Khalifa Umar ra lalu menjelaskan perempuan tadi adalah Khaulah binti sta’labah.
Allah telah mendengar pengaduannya dari atas tujuh lapis langit.
Cerita
Khaulah binti Sta’labah sangat poluler, dan tertera dalam Al-Qur’an dalam surat
Al-Mujadalah. Ia penyebab turunya surat tsb. Kisahnya, wanita itu telah
dizhahirkan oleh suaminya Aus bin Shamit yaitu dengan mengatakan “kamu bagiku
sudah seperti punggung ibuku”, dengan maksud dia tidak boleh menggauli istrinya
sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliah kalimat
zhihar seperti kalimat thalak, seolah olah ia telah mentalak istrinya. Maka,
Khaulah mengadukan halnya kepada Rasulallah saw. Beliau pun menjawab bahwa
dalam hal ini belum ada wahyu turun dari Allah. Kemudian Khaulah berulangulang
mendesak kepada Rasulallah saw supaya menetapkan sesuatu keputusan dalam hal
ini. Sehingga kemudian turunlah ayat berikut ini:
“Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal
jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Al Mujadalah ayat 1.
Khalifah
Umar ra berkata kepada para sahabatnya “Demi Allah seandainya dia tidak
berpaling sampai malam, maka saya tidak akan berpaling pula sampai aku bisa
membantunya”.
Habib
Hasan Husen Assagaf
Posting Komentar