Dalam
hidup ini, ada hal-hal yang kita suka dan yang kita benci. Kadangkala apa yang
kita suka ternyata dibenci oleh orang lain, sedangkan hal-hal yang kita benci
justeru disuka orang lain. Begitu pula dengan Allah SWT, ada hal-hal yang
dibenci-Nya meskipun bisa jadi banyak manusia yang suka melakukannya. Namun
karena ridha Allah SWT yang kita ingin raih, maka kita akan menyesuaikan diri
sehingga hal-hal yang tidak disukai-Nya tidak akan kita lakukan. Rasulullah SAW
menyebutkan tentang hal-hal yang dibenci-Nya sehingga hal ini akan kita
hindari, beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ
ثَلاَثًا: قِيْلَ وَقَالَ, وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Sesungguhnya Allah membenci tiga hal
untuk kalian: desas desus, membuang-buang harta, dan banyak bertanya (hal yang
tidak penting) (HR.
Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Dari
hadits di atas, ada tiga hal yang dibenci Allah SWT yang membuat kita harus
menghindarinya.
1. Desas Desus
Salah
satu ciri orang fasik yang sangat menonjol adalah selalu berusaha untuk
melakukan kekacauan sehingga ia merusak jalinan hubungan antar manusia dengan
menyebarkan fitnah melalui penyampaian berita yang tidak benar menyangkut
seseorang atau sekelompok orang sehingga sesama orang yang hubungannya sudah
baik menjadi saling curiga, bahkan membenarkan tuduhan yang tidak benar.
Karena
itu, kaum muslimin harus waspada terhadap adanya informasi yang negatif tentang
kaum muslimin sehingga ia akan mengecek terlebih dahulu kebenaran suatu
informasi apalagi bila menyangkut keburukan orang lain, Allah SWT mengingatkan
hal ini dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS Al-Hujurat/49:6).
Asbaabun nuzuul (sebab turunnya
ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al Harits datang menghadap Nabi
Muhammad SAW, beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia
menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk. membayar zakat. Kepada Rasulullah,
Al Harits menyatakan: “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang
untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya,
kirimkanlah utusan untuk mengambilnya”. Namun ketika zakat sudah banyak
dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan
beliau belum juga datang. Maka Al Harits beserta rombongan berangkat untuk
menyerahkan zakat itu kepada Nabi.
Sementara
itu, Rasulullah SAW mengutus Al Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun
ditengah perjalanan hati Al Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang
tidak benar, yakni Al Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan
dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliaupun mengutus
lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al Harits. Ketika utusan itu
bertemu dengan Al Harits ia berkata: “Kami diutus kepadamu”. Al Harits
bertanya: “Mengapa?”. Para sahabat menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah telah
mengutus Al Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan
zakat bahkan mau membunuhnya”.
Al
Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan
sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang dating kepadaku”.
Maka ketika mereka sampai kepada Nabi SAW, beliaupun bertanya: “Apakah benar
engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?”, Demi Allah yang telah
mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian”. Maka turunlah
ayat itu.
Surat
Al Hujurat/6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar. KH. M. Quraish Shihab
dalam
bukunya Secercah Cahaya Ilahi, hal 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata
naba’ menunjukkan “berita penting”, sedangkan khabar menunjukkan ”berita secara
umum”. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan
diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong
kosong dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak
perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi”.
Ust.
Drs. H. Ahmad Yani

Posting Komentar