Di mana lagi aku temui perempuan semacammu ..? ..
Tilawahmu tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar kepadaku.
Tapi, di mana lagi aku temui perempuan seikhlasmu .. ? ..
Wajahmu tak cantik melulu, masakanmu pun tidak lezat selalu.
Tapi, katakan kepadaku, di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu .. ? ..
Kau bahkan tidak biasa berbicara mewakili dirimu sendiri, dan acapkali
menyampaikan isi hatimu dalam bahasa yang tak berkata-kata...
Demi Tuhan, tapi aku benar-benar tidak tahu, ke mana lagi aku cari perempuan
seinspiratif dirimu? Ingatkah lima tahun lalu aku hanya memberimu selingkar
cincin 3 gram yang engkau pilih sendirian? Tidak ada yang spektakuler pada awal
penyatuan kita dulu. Hanya itu. Karena aku memang tidak punya apa-apa. Ah,
bagaimana bisa aku menemukan perempuan lain sepertimu?
Aku tidak akan melupakan amplop-amplop lusuhmu, menyimpan lembaran ribuan yang
kausiapkan untuk belanja satu bulan. Dua ribu per hari. Sudah kauhitung dengan
cermat. Berapa rupiah untuk minyak tanah, tempe, cabe, dan sawi. Ingatkah,
Sayang? Dulu kita begitu akrab dengan racikan menu itu. Setiap hari. Sekarang
aku mulai merasa, itulah masa paling indah sepanjang pernikahan kita.
Lepas maghrib aku pulang, berkeringat sebadan, dan kaumenyambutku dengan
tenang. Segelas air putih, makan malam: tempe, sambal, dan lalap sawi. Kita
bahagia. Sangat bahagia…..
Aku bercerita, seharian ada apa di tempat kerja. Kau memijiti punggungku dengan
jemarimu yang lemah tapi digdaya. Kau lalu bercerita tentang tingkah anak-anak
tetangga… Kala itu kita begitu menginginkan hadirnya buah cinta yang namanya
pun telah kusiapkan sejak bertahun-tahun sebelumnya.
Kita tidak pernah berhenti berharap, kan, Honey? Dua kali engkau menahan
tangismu di ruang dokter saat kandunganmu mesti digugurkan. Aku menyiapkan
dadaku untuk kepalamu, lalu membisikkan kata-kata sebisaku, "tidak
apa-apa. Nanti kita coba lagi. Tidak apa-apa."
Di atas angkot, sepulang dari dokter, kita sama-sama menangis, tanpa isak, dan
menatap arah yang berlawanan. Tapi, masih saja kukatakan kepadamu, "Tidak
apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Kita masih muda." Engkau tahu betapa
lukanya aku. Namun, aku sangat tahu, lukamu berkali lipat lebih menganga
dibanding yang kupunya. Engkau selalu bisa segera tersenyum setelah merasakan
sakit yang mengaduk perutmu, saat calon bayi kita dikeluarkan. Kaumemintaku
menguburkannya di depan rumah kita yang sepetak. "Yang dalam, Kang. Biar
nggak digali anjing." Jadi, ke mana aku bisa mencari perempuan sekuat
dirimu?
Kaupasti tak pernah tahu, ketika suatu petang, sewaktu aku masih di tempat
kerja, hampir merembes air mataku ketika kauberitahu. "Kang, Mimi ke Ujung
Berung, jual cincin." Cincin yang mana lagi? Engkau sedang membicarakan
cincin kawinmu, Sayang. Yang 3 gram itu. Aku membayangkan bagaimana kau beradu
tawar menawar dengan pembeli emas pinggir jalan. Bukankah seharusnya aku masih
mampu memberimu uang untuk makan kita beberapa hari ke depan? Tidak harus
engkau yang ke luar rumah, melawan gemetar badanmu, bertemu dengan orang-orang
asing. Terutama … untuk menjual cincinmu? Cincin yang seharusnya menjadi
monumen cinta kita. Tapi kausanggup melakukannya. Dan, ketika kupulang, dengan
keringat sebadan, engkau menyambutku dengan tenang. Malam itu, tidak cuma
tempe, cabe, dan lalap sawi yang kita makan. Kaupulang membawa uang.
Duh, Gusti, jadi bagaimana aku sanggup berpikir untuk mencari perempuan lain
seperti dirinya? Ketika kondisi kita membaik, bukankah engkau tidak pernah
meminta macam-macam, Cinta? Engkau tetap sesederhana dulu. Kaubelanja dengan
penuh perhitungan. Kauminta perhatianku sedikit saja. Kau kerjakan semua yang
seharusnya dikerjakan beberapa orang. Kaucintai aku sampai ke lapisan tulang.
Sampai membran tertipis pada hatimu.
Ingatkah, Sayang? Aku pernah menghadiahimu baju, yang setelah itu kautak mau
lagi membeli pakaian selama bertahun-tahun kemudian. Baju itu seharga kambing,
katamu. Kautak mau buang-buang uang. Bukankah telah kubebaskan kau mengelola
uang kita? Kautetap seperti dulu. Membuat prioritas-prioritas yang kadang
membuatku kesal. Kau lebih suka mengisi celengan ayam jagomu daripada membeli
sedikit kebutuhanmu sendiri.
Dunia, kupikir aku tak akan pernah menemui lagi perempuan seperti dia. Sepekan
lalu, Sayang, sementara di rahimmu anak kita telah sempurna, kaumasih
memikirkan aku. Menanyai bagaimana puasaku, bukaku, sahurku? Siapa yang mencuci
baju-bajuku, menyetrika pakaianku. Bukankah sudah kupersilakan engkau menikmati
kehamilanmu dan menyiapkan diri untuk perjuanganmu melahirkan anak kita?
"Kang, maaf, ya, dah bikin khawatir, gak boleh libur juga gak papa. Tadi
tiba-tiba gak enak perasaan. Tau nih, mungkin krn bentar lagi." Bunyi
smsmu saat kudalam perjalanan menuju Jakarta. Panggilan tugas. Dan, engkau
sangat tahu, bagiku pekerjaan bukan neraka, tetapi komitmen. Seberat apa pun,
sepepat apa pun, pekerjaan adalah sebuah proses menyelesaikan apa yang pernah
aku mulai. Tidak boleh mengeluh, tidak boleh menjadikannya kambing hitam.
Membaca lagi SMSmu membuatku semakin tebal bertanya, ke mana lagi kucari
seorang pecinta semacammu.
Kaumencintaiku dengan memberiku sayap. Sayap yang mampu membawaku terbang
bebas, namun selalu memberiku alamat pulang kepadamu. Selalu.
Lalu SMS mu itu kemudian menjadi firasat. Sebab, segera menyusul teleponmu,
pecah ketubanmu. Aku harus segera menemuimu. Secepat-cepatnya meninggalkan
Bandung menuju Cirebon untuk mendampingimu. "Terus kamu kenapa masih di
sini? Pulang saja," kata atasanku ketika itu. Engkau tahu, Sayang, aku
masih berada di dalam meeting ketika teleponmu mengabarkan semakin mendekatnya
detik-detik lahirnya "tentara kecil" kita. Ketika itu aku masih
berpikir, boleh kuselesaikan meeting itu dulu, agar tidak ada beban yang belum
terselesaikan. Tapi, tidak. Atasanku bilang, tidak. "Pulang saja,"
katanya. Baru kubetul-betul sadar, memang aku segera harus pulang. Menemuimu. Menemanimu.
Lalu, kusalami mereka yang ada di ruang rapat itu satu-satu. Tidak ada yang
tidak memberikan dorongan, kekuatan, dukungan.
Lima jam kemudian aku ada di sisihmu. Seranjang sempit rumah sakit dengan
infuse di pergelangan tangan kirimu. Kaumulai merasakan mulas, semakin lama
semakin menggila. Semalaman engkau tidak tidur. Begitu juga aku. Berpikir untuk
memejamkan mata pun tak bisa. Aku tatap baik-baik ekspresi sakitmu, detik per
detik. Semalaman, hingga lepas subuh, ketika engkau bilang tak tahan lagi.
Lalu, aku berlari ke ruang perawat.
"Istri saya akan melahirkan," kataku yakin.
Bergerak cepat waktu kemudian. Engkau dibawa ke ruang persalinan, dan aku
menolak untuk meninggalkanmu. "Dulu ada suami yang ngotot menemani
istrinya melahirkan, lihat darah, tahu-tahu jatuh pingsan," kata dokter
yang membantu persalinanmu. Aku tersenyum, yang pasti laki-laki itu bukan aku.
Sebab aku merasa berada di luar ruang persalinan itu akan jauh lebih menyiksa.
Aku ingin tetap di sisihmu. Mengalirkan energi lewat genggaman tanganku, juga
tatapan mataku.
Terjadilah. Satu jam. Engkau mengerahkan semua tenaga yang engkau tabung selama
bertahun-tahun. Keringatmu seperti guyuran air. Membuat mengilap seluruh
kulitmu. Terutama wajahmu. Menjerit kadangkala. Tanganmu mencengkeram
genggamanku dengan kekuatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kekuatan
yang lahir oleh kesakitan. Engkau sangat kesakitan, sementara "tentara
kecil" kita tak pula mau beranjak.
"Banyak kasus bayi sungsang masih bisa lahir normal, kaki duluan.
Tapi anak ini kakinya melintang," kata dokter. Aku berusaha tenang. Sebab
kegaduhan hatiku tidak bisa membantu apa-apa. Kusaksikan lagi wajah berpeluhmu,
Sayang. Kurekam baik-baik, seperti fungsi kamera terbaik di dunia. Kusimpan
lalu di benakku yang paling tersembunyi.
Sejak itu kuniatkan, rekaman itu akan kuputar jika suatu ketika kuberniat
mencurangimu, menyakitimu, melukaimu, mengecewakanmu. Aku akan mengingat wajah
itu. Wajah yang hampir kehilangan jiwa hanya karena ingin membuatku bahagia.
"Sudah tidak kuat, Kang. Nggak ada tenaga," bisikmu persis di
telingaku. Karena sengaja kulekatkan telingaku ke bibirmu. Aku tahu, ini urusan
nyawa. Lalu kumerekam bisikanmu itu. Aku berjanji pada hati, rekaman suaramu
itu akan kuputar setiap lahir niatku untuk meminggirkanmu, mengecilkan cintamu,
menafikkan betapa engkau permata bagi hidupku.
Aku mengangguk kepada dokter ketika ia meminta kesanggupanku agar engkau
dioperasi. Tidak ada jalan lain. Aku membisikimu lagi, persis di telingamu,
"Mimi kuat ya. Siap, ya. Ingat, ini yang kita tunggu selama 5 tahun. Hayu
semangat!"
Engkau mengangguk dengan binar mata yang hampir tak bercahaya. Aku tahu, ini
urusan nyawa. Tapi mana boleh aku memukuli dinding, menangis sekencang angin,
lalu mendongak ke Tuhan, "Kenapa saya, Tuhan! Kenapa kami?"
Sebab, Tuhan akan menjawab, "Kenapa bukan kamu? Kenapa bukan kalian?"
Aku mencoba tersenyum lagi. Mengangguk lagi kepadamu. "Semua akan
baik-baik saja." Maka menunggumu di depan ruang operasi adalah saat di
mana doa menjadi berjejal dan bernilai terkhusyuk sepanjang hidup. Seandainya
aku boleh mendampingi operasimu. Tapi tidak boleh. Aku menunggumu sembari
berkomat-kamit sebisaku. Aku sendirian. Berusaha
tersenyum, tetapi sendirian. Tidak - tidak terlalu sendirian. Ada seseorang mengirimiku
pesan pendek dan mengatakan kepadaku, "Aku ada di situ, menemanimu."
Kalimat senada kukatakan kepadanya suatu kali, ketika dia mengalami kondisi
yang memberatkan. "Apa kepala bebalmu tidak merasa? Aku ada di situ!
Menemanimu!"
Lalu, tangis itu! Rasanya seperti ada yang mencabut nyawaku dengan cara
terindah sedunia. Tangis itu! Tentara kecil kita. Menjadi gila rasanya ketika
menunggu namaku disebut. Berlari ke lorong rumah sakit ketika tubuh mungil itu
disorongkan kepadaku. "Ini anak Bapak"
Tahukah engkau, Sayang. Ini bayi yang baru keluar dari rahimmu, dan aku harus
menggendongnya. Bukankah dia terlau rapuh untuk tangan-tangan berdosaku? Dokter
memberiku dukungan. Dia tersenyum dengan cara yang sangat senior.
"Selamat, ya. Bayinya laki-laki."
Sendirian, berusaha tenang. Lalu kuterima bayi dalam bedongan itu. Ya, Allah,
bagaimana membahasakan sebuah perasaan yang tidak terjemahkan oleh semua kata
yang ada di dunia Makhluk itu terpejam tenang semacam malaikat; tak berdosa.
Sembari menahan sesak di dadaku, tak ingin menyakitinya, lalu kudengungkan azan
sebisaku. Sebisaku. Sebab, terakhir kukumandangkan azan, belasan tahun lalu, di
sebuah surau di pelosok Gunung Kidul. Azan yang tertukar redaksinya dengan
Iqomat.
Mendanau mataku. Begini rasanya menjadi bapak? Rasanya seperti tertimpa surga.
Aku tak pedul lagi seperti apa itu surga. Rasanya sudah tidak perlu apa-apa
lagi untuk bahagia. Momentum itu berumur sekitar lima menit. Tentara kecil kita
diminta oleh perawat untuk dibersihkan. Ingatanku kembali kepadamu. Bagaimana
denganmu, Sayang? Kukirimkan kabar tentang tentara kecil kita kepada seseorang
yang semalaman menemani kita bergadang dari kejauhan. Dia seorang sahabat,
guru, inspirator, pencari, dan saudara kembarku. "He is so cute," kata
SMS ku kepadanya.
Sesuatu yang membuat laki-laki di seberang lautan itu menangis dan mengutuk
dirinya untuk menyayangi bayi kita seperti dia merindukan dirinya sendiri.
Sebuah kutukan penuh cinta.
Setengah jam kemudian, berkumpul di ruangan itu. Kamar perawatan kelas dua yang
kita jadikan kapal pecah oleh barang-barang kita. Engkau, aku, dan tentara
kecil kita. Seorang lagi; keponakan yang sangat membantuku di saat-saat sulit
itu. Seorang mahasiswi yang tentu juga tidak tahu banyak bagaimana mengurusi
bayi. Tapi dia sungguh memberiku tangannya dan ketelatenannya untuk mengurusi
bayi kita.
Engkau butuh 24 jam untuk mulai berbicara normal, setelah sebelumnya seperti
mumi. Seluruh tubuhmu diam, kecuali gerakan mata dan sedikit getaran di bibir.
Aku memandangimu, merekam wajahmu, lalu berjanji pada hati, 50 tahun lagi,
engkau tidak akan tergantikan oleh siapa pun di
dunia ini.
Lima hari, Sayang. Lima hari empat malam kita menikmati bulan madu kita
sebenar-benarnya. Aku begitu banyak berimprovisasi setiap hari. Mengurusi bayi
tidak pernah ilmunya kupelajari. Namun, apa yang harus kulakukan jika memang
telah tak ada pilihan? Aku menikmati itu. Berusaha mengurusmu dengan baik, juga
menenangkan tentara kecil kita supaya tangisnya tak meledak-ledak.
"Terima kasih, Kang," katamu setelah kubantu mengurusi kebutuhan
kamar mandimu. Lima tahun ini apa keperluanku yang tidak engkau urus, Sayang?
Mengapa hanya untuk pekerjaan kecil yang memang tak sanggup engkau lakukan
sendiri, engkau berterima kasih dengan cara paling tulus sedunia? Lalu ke mana
kata "terima kasih" yang seharusnya kukatakan kepadamu sepanjang lima
tahun ini? Tahukah engkau, kata "terima kasih" mu itu membuat wajahmu
semelekat magnet paling kuat di kepalaku.
Mengurusimu dan bayi kita. Lima hari itu, aku menemukan banyak gaya menangisnya
yang kuhafal di luar kepala, agar aku tahu apa pesan yang ingin dia sampaikan.
Gaya kucing kehilangan induk ketika ia buang kotoran. Gaya derit pintu ketika
dia merasa kesepian, gaya tangis bayi klasik (seperti di film-film atau sandiwara
radio) jika dia merasa tidak nyaman, dan paling istimewa gaya mercon banting;
setiap dia kelaparan. Tidak ada tandingnya di rumah sakit bersalin yang punya
seribu nyamuk namun tidak satu pun cermin itu. Dari ujung lorong pun aku bisa
tahu itu tangisannya meski di lantai yang sama ada bayi-bayi lain menangis pada
waktu bersamaan.
Ah, indahnya. Tak pernah bosan kutatapi wajah itu lalu kucari jejak diriku di
sana. Terlalu banyak jejakku di sana. Awalnya kupikir 50:50 cukup adil. Agar
engkau juga merasa mewariskan dirimu kepadanya. Tapi memang terlalu banyak
diriku pada diri bayi itu. Hidung, dagu, rahang, jidat, tangis ngototnya,
bahkan detail cuping telinga yang kupikir tidak ada duanya di dunia. Ada bisik
bangga, "Ini anakku, anak laki-lakiku. "
Tapi tenang saja, istriku, kulitnya seterang dan sebening kulitmu. Rambutnya
pun tak seikal rambutku. Kuharap, hatinya kelak semembentang hatimu.
Kupanggil dia Sena yang berarti tentara. Penggalan dari nama sempurnanya:
Senandika Himada. Sebuah nama yang sejarahnya tidak serta-merta. Panjang dan
penuh keajaiban. Senandika bermakna berbicara dengan diri sendiri; kontemplasi,
muhasabbah, berkhalwat dengan Allah. Sedangkan Himada memiliki makna yang sama
dengan Hamida atau Muhammad: YANG TERPUJI dan itulah doa kita untuknya bukan,
Sayang? Kita ingin dia menjadi pribadi yang terpuji dunia akhirat. Kaya nomor
sekian, pintar pun demikian, terkenal apalagi. Yang penting adalah terpuji
mulia dan ini bukan akhir kita, bukan, Honey? Ini menjadi awal yang indah.
Awalku jatuh cinta (lagi) kepadamu.
Dikisahkan oleh USt. Abubakar Al Habsy
Posting Komentar