Kemudian ada salah seorang dari para murid yang cerdik membantahnya dengan
mengatakan, “Anda berbohong!” Akhirnya ia gundah dan pikirannya kacau lalu ia
duduk. Apa yang ada dalam benaknya cukup kelihatan di raut wajahnya. Akhirnya
para murid sufi sepakat, bahwa ia adalah pembohong, lalu mereka berkata
kepadanya: “Bagaimana anda bisa mengatakan sebagaimana yang anda katakan tadi,
sementara pikiran anda telah kacau hanya karena omongan sebagian orang yang
mengatakan anda adalah pembohong?! Apabila anda tidak sanggup memikul satu
beban saja, lalu bagaimana anda akan sanggup memikul beban untuk selalu disiksa
setiap hari dan setiap malam tanpa ada kesalahan apa pun yang anda lakukan sebelumnya?!
Akhirnya orang yang sekadar mengaku jujur dalam cintanya ini beristigfar dan
mengakui kebohongannya.
Maka benar-benar jujurlah —wahai saudaraku— dalam mencintai sang guru, anda
akan mendapatkan segala kebaikan. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk
kepada anda.
Dan diantara adab seorang murid, hendaknya tidak ikut masuk ke dalam
perjanjian (sumpah) seorang guru (tarekat) sampai ia lebih dahulu bertobat dari
segala dosa, baik dosa secara lahir maupun batin. Misalnya menggunjing,
minum-minuman keras, dengki, iri hati dan lain-lain. Ia juga harus bisa rela
terhadap semua lawan yang berusaha merampas harga diri maupun harta. Sebab
hadirat tarekat Galan menuju Allah) adalah hadirat Allah Azza Jalla. Maka
barangsiapa tidak menyucikan diri dari segala dosa, baik lahir maupun batin,
maka tidak dibenarkan ia masuk ke hadirat ini. Ia ibarat orang yang mau
menjalankan ibadah shalat, sementara di tubuh atau pakaiannya terdapat najis
yang tidak bisa dimaafkan, atau karena tempatnya jauh dari air sehingga tidak bisa
disucikan dengan air, tentu saja shalatnya tidak sah. Demikian pula orang yang
mau masuk ke dalam tarekat dengan kondisi kotor dengan dosa, maka ia tetap
batal, sekalipun gurunya termasuk tokoh para wali. Ia tidak akan sanggup
mengantarkannya dan berjalan bersamanya untuk menuju tarekat Ahlullah sekalipun
hanya selangkah, terkecuali sebelumnya telah menyucikan diri dari segala dosa.
Poin ini rupanya banyak dilupakan oleh sebagian besar orang. Mereka
tergesa-gesa mengambil sumpah (janji) sang murid, sementara pada diri sang
murid masih banyak dosa, baik lahir maupun batin, terutama yang menyangkut
hak-hak para hamba dalam masalah harta maupun harga diri sehingga tidak akan
ada manfaatnya dalam menempuh tarekat. Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali
al-Khawwash — rahimahullah — mengatakan: “Tarekat (jalan) orang-orang yang
menuju kepada Allah adalah ibarat mau masuk surga. Maka sebagaimana yang
terdapat dalam Hadis sahih, tidak seorang pun dari calon penghuni surga
diperkenankan masuk ke dalam surga sementara pada dirinya masih ada hak anak
cucu Adam. Maka demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat Allah Azza
wa Jalla.”
Kemudian definisi tobat adalah kembali dan apa saja yang secara hukum
(syariat) itu tercela menuju kepada apa yang secara hukum itu terpuji. Sehingga
masing-masing orang yang bertobat akan memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri.
Bisa jadi apa yang menurut seseorang hal itu terpuji, tapi justru orang lain
malah menganggapnya tercela, lalu bertobat dan beristigfar dari hal yang menurut
orang pertama tersebut terpuji. Ini termasuk bagian dari, “Kebaikan orang-orang
yang baik (al-abrar) adalah kejelekan bagi orang-orang yang didekatkan kepada
Allah (al-mu qarrabin).”
Perlu anda ketahui, bahwa orang yang selalu melakukan hal-hal yang menyalahi
aturan syariat, makan hal-hal yang menjadi kesenangan nafsu, dan senantiasa
bergelut dengan hal-hal yang diharamkan, maka jarak antara orang ini dengan
tarekat menuju Allah, ibarat jarak antara langit dengan bumi. Kemudian anda
harus tahu, bahwa perilaku dari nafsu adalah selalu mengaku dengan pengakuan
palsu. Barangkali ia mengaku benar-benar hertobat dengan sejujurnya, tapi
pengakuannya hanya kebohongan. Maka hal itu tidak bisa diterima kecuali dengan
kesaksian seorang guru akan kejujurannya dalam segala tingkatan spiritual yang
diakuinya telah bertobat, sampai pada akhirnya ia mencapai pada tingkatan
bertobat dari tindakan lengah dan kesaksian diri akan Tuhannya sekalipun hanya
sekejap mata. Kemudian dari tingkatan ini naik lagi ke tingkatan yang lebih
tinggi, yaitu mengagungkan Allah SWT untuk selama-lamanya, yang tidak pernah
berhenti sekejap pun untuk mengagungkan-Nya. Inilah tingkatan akhir dan apa
yang kaum sufi katakan tentang tingkatan-tingkatan tobat.
Pada awalnya bertobat dari segala dosa besar, kemudian pada tingkatan
bertobat dan dosa-dosa kecil, kemudian dan hal-hal yang tidak disenangi secara
syariat, kemudian meninggalkan hal-hal yang apabila dilakukan akan melanggar
keutamaan, kemudian bertobat dan tidak lagi melihat kebaikan-kebaikannya,
kemudian bertobat untuk tidak lagi melihat dirinya termasuk kelompok kaum fakir
sufi di zaman ini. —Dan hanya AllahYang Mahatahu.
Dan diantara perilaku seorang murid, hendaknya selalu melakukan mujahadat
(perjuangan spiritual) untuk memerangi nafsunya. Maka selamanya ia tidak akan
pernah kompromi dengan nafsunya. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq — rahimahullah —
mengatakan: “Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadat maka Allah akan
menghiasi batinnya dengan musyahadat (kesaksian diri kepada Tuhannya). Maka
barangsiapa pada tahapan awal tidak melakukan mujahadat pada diri (nafsu) nya,
maka ia tidak akan bisa mencium bau tarekat menuju Allah. ”Sebab telah menjadi
ciri khas kaum sufi yang menempuh tarekat kepada Allah, apabila seorang hamba
tidak mau memberikan hak tarekat secara keseluruhan maka tarekat juga tidak
akan memberinya sekalipun hanya sebagian.
Kalam Syeikh
Abdul Wahab Asy-Sya’rani dimuat dalam Majalah Cahaya Sufi
+ comments + 1 comments
banyak game yang menarik di IONQQ
ayo segera daftarkan diri anda :D
WA : +855 1537 3217
Posting Komentar